
Tes Wawasan Kebangsaan, Upaya Meningkatkan Pemberantasan Koruptor atau Orang Jujur?
Oleh: Lela Fakhriyatun Izzah
Mahasiswi Jurusan Hukum Pidana Islam Angkatan 2020 dan Kader Biro Pengkaderan
Polemik mengenai Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK pada seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berimbas tidak lulusnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi persoalan negara yang cukup mencengangkan. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri yang menjabat sejak 20 Desember 2019 menonaktifkan ke75 pegawai tersebut. Sehingga Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko angkat bicara dan menilai publik dirugikan akibat penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Sujanarko menyebut pemberantasan korupsi akan berhenti selama 75 pegawai KPK tersebut dinonaktifkan.
Di sini juga Sujanarko menyampaikan bahwa publik dirugikan. “Karena apa, dengan dinonaktifkan 75 pegawai maka kasus-kasus yang ditangani semuanya berhenti. Jadi tidak hanya kasus, ada yang bekerja di kerja sama internasional, di biro SDM, biro hukum, semuanya berhenti. Kalau tidak berhenti setidaknya itu terganggu dengan nonaktifnya 75 pegawai”, ungkap Sujanarko di kantor Ombudsman RI, Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, 19/5.
Perlu juga dipahami, dengan digajinya 75 pegawai tanpa boleh bekerja, itu sama dengan merugikan keuangan negara. Karena semua pegawai digaji dari pajak yang dibayar pemerintah. Bayangkan saja jika penonaktifan ini hingga satu tahun, atau minimal 6 bulan, berapa banyak jumlah uang negara yang telah dirugikan oleh pimpinan.
Mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2011-2015 Bambang Widjojanto juga ikut angkat bicara dan menyebut jika Surat Keputusan (SK) penonaktifan 75 pegawai KPK memiliki konsekuensi hukum. Dia mengatakan, SK tersebut akan berdampak pada penanganan perkara korupsi di lembaga antirasuah. “Bila surat ketua KPK yang tidak segera dicabut maka akan memiliki konsekuensi hukum pada mereka yang kapasitasnya sebagai penyidik dan penyelidik”, kata Bambang Widjojanto. Bambang juga mengatakan, permintaan dalam SK tersebut juga merupakan perlawanan terhadap hukum mengingat sebagian pegawai yang berstatus TMS itu adalah penyelidik dan penyidik.
Para Guru Besar yang dari berbagai Universitas pun tidak ketinggalan dan kembali memberikan surat kepada pimpinan KPK yang isinya meminta agar penonaktifan terhadap para pegawai tersebut dicabut.
“Mahkamah Konstitusi ( MK ) telah menegaskan di dalam putusan uji materi UU KPK bahwa proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. Namun, aturan itu ternyata telah diabaikan oleh Pimpinan KPK dengan tetap memasukkan paksa konsep TWK ke dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021,” terang para Guru Besar.
Tidak hanya itu, substansi TWK juga membuat kecurigaan, terkhusus pada konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat menjalani wawancara. Secara global, bagi saya bahwa apa yang ditanyakan mengandung nuansa irasional serta kurang relevan terkait isu pemberantasan korupsi tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa TWK ini tidak pas jika dijadikan sebuah syarat untuk mengangkat pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Seharusnya proses alih status ini dapat berjalan langsung tanpa harus seleksi tertentu yang sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan telah memiliki rekam jejak panjang dalam upaya penindakan maupun pencegahan korupsi. Semisal, pada hal masa kerja, sejumlah pegawai KPK yang dinonaktifkan bahkan sudah bergabung sejak lembaga antirasuah itu berdiri sekitar tahun 2003 lalu. Simpelnya gini, jika wawasan kebangsaan mereka diragukan mestinya dengan sendirinya akan tercermin di dalam kinerjanya selama ini, misalnya tidak taat terhadap perintah UU atau mereka melakukan pelanggaran etik. Dapat dilihat bahwa ketidaklulusan mereka tidak sesuai dengan kinerja yang sudah diberikan selama ini.
Pada sisi lain, ada pula permasalahan yang tak kalah serius di dalam proses alih status kepegawaian KPK. Karena dari banyaknya pegawai yang dinonaktifkan, terdapat para Penyelidik dan Penyidik. Hal ini tentu akan berimplikasi pada masalah yang sedang ditangani, mulai dari korupsi, suap Bansos di Kementerian Sosial, pengadaan E-KTP, dan lainnya. Dapat dinilai bukan tidak mungkin pengusutan perkara tersebut akan melambat, dan perkara ini pasti membuat rakyat rugi selaku korban praktik korupsi. Sedangkan, mungkin, para pemangku kebijakan negeri kita tercinta akan tertawa lebar melihatnya. Jadi, pertanyaan serius yang perlu diajukan sebenarnya ialah ada motif apa di balik TWK yang janggal itu? Upaya meningkatkan pemberantasan koruptor kah? Atau upaya pemberantasan orang-orang yang jujur? Berani jujur, pecat! Eh.