
Mahasiswa sebagai cendekiawan mempunyai tanggung jawab yang harus senantiasa dilaksanakan. Menurut Julian Benda dalam bukunya La Trahison des Clercs (1972), tanggung jawab kecendekiaan didasarkan pada tiga tolak ukur, yaitu keadilan, kebenaran, dan rasio. Nampak jelas bahwa mahasiswa dituntut untuk senantiasa mengupayakan tegaknya kebenaran dan keadilan yang dilandaskan rasionalitas. Di sinilah tanggung jawab mendasar mahasiswa yang direfleksikan dengan berbagai aktivitas kemahasiswaan dan gerakan mahasiswa.[1]
Gerakan mahasiswa melalui organisasi mahasiswa Islam seperti PMII adalah bentuk ekspresi idealisme mahasiswa tentang keagamaan dan nasionalisme dalam bernegara Indonesia. Organisasi kemahasiswaan memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan civic skills agar para mahasiswa siap terjun ke masyarakat. Namun berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, menghasilkan temuan bahwa: motivasi mahasiswa terhadap ormawa mengalami penurunan karena lebih mengedepankan akademik dan dihadapkan tantangan gaya hidup yang mengarah pada hedonisme. Padahal semakin ke sini, kita dihadapkan pada persoalan sosial politik yang sangat kompleks
Nah, pada momen harlah ke-61 tahun PMII beberapa hari lalu, mari kita bersama-sama merefleksikan kembali apakah gerakan para kader PMII kini telah dapat membaca situasi dan kondisi yang ada di sekitar kita entah itu perihal apapun, karena sebagai mahasiswa kita akan ditempa dengan banyaknya pergolakan dari luar khususnya bagi mahasiswa pergerakan. Dunia pergerakan sendiri sangatlah kompleks, para kader dituntut agar bisa memahami persoalan yang ada pada dirinya ataupun di sekitarnya.
Melihat gerakan mahasiswa saat ini, tidak terkecuali PMII, saya kira masih terjebak pada romantisisme gerakan masa 90-an atau masa orde baru yang lengkap dengan nuansa heroismenya. Sehingga pasca reformasi, mereka mengira bahwa musuh telah dikalahkan. Namun kenyataan berbicara sebaliknya, angin segar reformasi yang digadang-gadang menjadi transisi dari era kediktatoran orba menjadi keterbukaan demokrasi, cuman isapan jempol belaka. Beberapa kali bahkan sering demonstrasi mahasiswa dibalas dengan tindakan represif oleh apparatus Negara. Seperti contoh gerakan September 2019 lalu, penolakan UU Omnibus Law awal tahun 2020 dan masih banyak lagi.
Kita tidak boleh terjebak pada “reformasi semu” ini. Apalagi sampai mempengaruhi kehidupan dan pola pikir kita menjadi sangat akademis, lebih memilih duduk santai di kelas dan mengerjakan tugas-tugas akademiknya, daripada melihat realitas sosial yang sarat ketimpangan. Kemudahan akses dan pertukaran informasi juga mesti kita manfaatkan untuk melihat gerak perupahan sosial dan wacana yang berkembang, tidak malah menggeser pola pikir kita menjadi pragmatis, dan hedonis.
Tantangan PMII saat ini begitu nyata dan rumit, ambil contoh dalam hal gerakan Islam. PMII yang notabenya adalah darah daging NU dan berprinsip aswaja harus mampu membendung gerakan-gerakan Islam yang menyerang tubuh NU, khususnya gerakan Islam trans nasional. PMII dan NU dengan komitmen kebangsaannya, harus dapat mengintegraskan nilai-nilai keislaman yang inklusif dan toleran dalam pembangunan watak beragama maupun bernegara.
Para kader PMII tidak boleh terjebak pula pada belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Karena jika sampai terjebak, secara tidak sadar, berdampak pada munculnya pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Hingga pada akhirnya kita kesulitan untuk membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma.
Selain permasalahan gerakan Islam Fundamental, juga banyak sekali permasalahan politik, ekonomi dan sosial yang harus dihadapi PMII dengan menyesuaikan keadaan saat ini. Era perkembangan revolusi industri 4.0 membuat semuanya menjadi serba instan bahkan tenaga kerja manusia telah banyak digantikan oleh sistem mesin dan komputer. Oleh karena itu, akan banyak jenis pekerjaan yang hilang, masyarakat yang tidak siap dengan perubahaan ini jelas bakal tergencet. Banyak buruh di-PHK, pengangguran merajalela, jurang antara si kaya dan si miskin pun semakin mengaga.
Pada
era ini yang dibutuhkan masyarkat adalah kelompok yang dapat mendampingi mereka
untuk mengikuti zaman, baik dalam hal inovasi
ataupun perjuangan. PMII harus mampu melakukan
transformasi di
berbagai bidang yang ultimate goalnya adalah terciptanya keadilan sosial,
khususnya yang berbasis keadilan ekonomi. Paradigma menggiring arus berbasis realitas
yang dipakai sebagai acuan gerakan PMII harus mampu menciptakan
kurikulum yang dapat mengantar kader-kadernya untuk
berkiprah secara professional tanpa meninggalkan ideologi dan
identitasnya.
[1]Kosasih. Peranan Organisasi Kemahasiswaan Dalam Pengembangan Civic Skills Mahasiswa. .JPIS, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol. 25, No. 2, Edisi Desember 2016.