Bencana Melanda, Pemerintah Ke Mana?

Oleh: M. Luthfi Nanang Setiawan
Anggota eLKAP 2020/mahasiswa jurusan Ilmu Falak semester 2 (besok)

Kehidupan beserta segala dinamikanya seperti sekuel novel yang ceritanya bersambung. Pembaca tidak akan puas, sebelum membaca tuntas. Ada orientasi, konflik, klimaks, anti klimak hingga resolusi. Tidak lebih sama dengan dan dalam kehidupan. Entah lagi di bagian yang mana kita, yang pasti semua akan merasakannya. Tidak bisa dicegah.

Sama dengan tahun ini, 2021, banyak harapan dan doa dilangitkan semoga lebih baik daripada tahun sebelumnya. Tapi nyatanya? Sama saja. Masih sama dalam satu novel dan cerita, hanya beda bab saja. Justru, kalau boleh saya bilang, tahun ini sedang klimak-klimaknya. Katanya hidup itu hukum alam, kausalitas. Apa yang sedang terjadi selama ini juga akibat dari ulah mereka sebelum hari.

Awal tahun, misalnya, Indonesia kembali disuguhkan dengan beragam sajian yang bikin sakit hati dan brebes mili. Dari kecelakaan pesawat, multi bencana hingga tetek bengek lain yang tak kalah banyak menyita perhatian dan sorotan. Selebihnya, kita, masyarakat biasa hanya mampu melihat dan tragisnya dipaksa menikmati tanpa berbuat apa-apa.

Menanggapi peristiwa ini, apalagi multi bencana yang sedang melanda, perhatian utama masyarakat selain tidak bisa menyalahkan cuaca, juga pastinya tertuju kepada pemerintah beserta rezimnya. Jelas itu. Apalagi kalangan intelektualis, yang getol dan tajam mengkritik pemerintah. Kritis dan argumentatif.

Dari banjir, gempa hingga longsor, selain karena faktor alam, ternyata ulah tangan manusia juga turut andil di dalamnya. Terlebih pemerintah. Mereka begitu kencang, bahkan tidak ada rasa sungkan mengekploitasi bumi dan hak warga pribumi. Relate dengan lagu peradaban milik Feast, “Bagai keset selamat datang, masuk kencang tanpa diundang. Ambil minum lepas dahaga, rampas galon dispenser pula.”

Kalau kita masih dan semoga saja punya hati baik, ya etisnya dimaafkan dan didoakan, semoga cepat waras lahir dan batin. Apa yang sudah mereka buat dan ujungnya berakibat mengingatkan bahwa mereka, para anggota dewan yang lagi duduk manis di singgasana dengan nyaman, kalau manusia pasti punya salah. Harusnya kita masih bisa senyum bahagia, kalau ternyata pemerintah itu juga manusia. Wajar lah ya.

Belum selesai, justeru yang bikin greget itu ketika apa yang sudah mereka lakukan malah begitu saja ditinggalkan. Merasa tidak punya salah. Padahal kenyatannya, bubrah ora nggenah. Jangankan merasa salah, tanggung jawab mereka saja entah ke mana arah. Kalau kata orang zaman sekarang, mereka suka ghosting, habis memberi harapan pergi jauh tanpa ada kabar kembali pulang.

Kepada bapak ibu yang dulu demen memberi harapan tanpa kepastian, coba sekali-kali, tengok kembali apa yang sudah panjengan lakukan. Kalau pun sudah Anda lihat, saya yakin pasti ditanggapi dengan remeh temeh, “Lha kalau banjir longsor itu kan faktor alam, kodrati. Nggak bisa kita cegah.” Oke, kita terima, tapi tidak begitu saja. Kita ulas lebih lanjut.

Melansir pendapat Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan, Kisworo Dwi Cahyono, banjir di Kalimantan disebabkan karena lahan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Ditambah musim kering, sering terjadi Karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Selain faktor cuaca yang tidak bisa disalahkan, ulah mereka juga bisa menjadi indikasi yang patut dipidanakan dipertimbangkan.

Andaikan faktor alam, bencana yang melanda tidak akan separah sekarang ini. Fungsi hutan selain penghasil oksigen, juga penjaga ekosistem dan stabilitas lingkungan. Persentase hutan yang masih asri dibanding hutan yang beralih fungsi itu hampir tidak ada separuhnya. Secara keseluruhan, menurut data Dana Lingkungan Hidup (World Wildlife Fund) per tahun 2020, hutan Kalimantan menyusut 75 persen setara dengan 6 hektar, menyusul laju deforestasi.

Belum lagi yang paling menjengkelkan, mereka itu seperti watados, wajah tanpa dosa. Sederhananya, lempar batu sembunyi tangan. Habis berulah pura-pura nggak tahu kalau mereka salah. Heran saja. Kok bisa-bisanya seperti itu. Mbokyo sadar diri begitu lho, Bapak Ibu terhormat. Kalau sudah begini, terus mau bagaimana?

Karena peradaban takkan pernah mati, walau diledakkan, diancam ‘tuk diobati. …. Karena kematian tanggungan pribadi, bukan milik siapapun untuk disudahi. Lirik yang cocok bagi mereka. Selalu dan selamanya ada. Menghantui kita di mana dan kapan saja. Hingga suatu saat nanti tanah air kembali berdiri, suatu saat nanti kita memimpin diri sendiri.