Kekerasan, Selalu dan Akan Terus Diproduksi dari Atas
Oleh: Rusda Khoiruz


Anda tentu banyak mendengar dan membaca berita tentang kekerasan. Atau malah pernah menjadi korban kekerasan? Khususnya, kekerasan yang diakukan oleh negara. Kekerasan sejak pembantaian 65-66 sampai sekarang, mungkin, bakal tidak selesai diceritakan selama sewindu. Namun, satu hal yang sering luput kita tanyakan: “mengapa kekerasan itu terus berulang dari waktu ke waktu?”


Sebelum terlalu jauh menjawab pertanyaan di atas, perlu kita kenali terlebih dahulu berbagai bentuk kekerasan yang ada. Salah sekian sosiolog yang berbicara soal kekerasan adalah Johan Galtung. Dalam satu esainya yang berjudul “Cultural Violence”, ia berargumen bahwa kekerasan tidak melulu harus dilakukan secara langsung (fisik). Galtung juga mengikutsertakan kekerasan yang jarang sekali kita sadari, yaitu kekerasan tak-langsung (struktural) dan legitimasi atas kedua jenis kekerasan itu, ialah kekerasan budaya (kultural).


Oke, oke mari kita urai satu persatu.


Kekerasan struktural, meski tak membunuh secara langsung menggunakan senjata atau bom nuklir, sebenarnya adalah borok sistem sosial kita hari ini. Kemiskinan, kesulitan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang disebabkan oleh kebijakan politik dan ekonomi merupakan bentuk nyata kekerasan struktural.


Jadi, kemiskinan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan hemat pangkal kaya, atau rajin menabung biar tajir. Tidak. Sederet narasi itu hanya ciptaan Orde Barunya Harto. Ketimpangan sosial yang kalian lihat sekarang, sebetulnya menyangkut perkara sulitnya mendapatkan akses sumber-sumber kehidupan bagi rakyat kismin. Kalau tidak percaya, ya sudah. Rukun iman tetap ada 6 kok.


Sementara kekerasan langsung (fisik), seringkali menimpa orang-orang kritis yang berupaya menyuarakan keadilan dan mengubah sistem sosial yang timpang ini. Tak terhitung jumlahnya berapa banyak korban kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negera, wabilkhusus Isilove, saat ada demonstrasi. Pentung—bahkan pistolnya—sering digunakan buat nggebukin para demonstran yang menuntut agar DPR dan Pemerinah tidak kelewat menghibur seperti dangdut, koplo!


Lebih jauh Galtung berargumen, bahwa kekerasan langsung dan strukural tersebut, tidak semata berdiri sendiri. Kedua jenis kekerasan itu, hanya dapat beroperasi jika “dilegitimasi” oleh nilai-nilai dan ideologi (kekuatan-kekuatan simbolik/budaya). Galtung menyebutnya sebagai “kekerasan budaya”. Di titik inilah, kita bisa menarik benang merah atas pertanyaan yang saya ajukan di atas.


Cara kerja kekerasan model terakhir ini sangatlah halus dan tersembunyi. Diam-diam ia mampu mengubah warna moral sebuah tindakan, yaitu dengan mengaburkan cara pandang kita untuk melihat suatu praktik eksploitasi dan represi menjadi hal yang lumrah dan alamiah atau untuk tidak melihanya sama sekali. Misalnya, membunuh dengan alasan membela negara adalah tindakan yang dapat dibenarkan. Namun pembunuhan yang dilakukan secara individual adalah salah. Mengeksploitasi alam berlebihan demi kepentingan negara, dilegalkan.

Sedangkan pemboikot jalan-jalan desa supaya tak rusak dilewati truk pengangkut batu bara, dipenjarakan. Nggebukin para demonstran dengan dalih demi ketertiban umum dibenar-benarkan. Sementara kaca mobil Gubernuran yang pecah akibat lemparan batu, pelakunya dikejar dan dikasuskan.


Kekerasan budaya ini memang berperan sebagai alat “legitimasi”. Dalam hubungannya dengan praktik kekerasan yang dilakukan negara, kata legitimasi berarti bahwa kekerasan sesungguhnya dapat “dibenarkan” melalui produk-produk kebudayaan yang berfungsi terutama untuk mentransformasi nilai-nilai moral dan ideologis agar masyarakat dapat melihat praktik kekerasan sebagai kejadian yang normal atau alamiah. Seperti contoh barusan.


Itulah sebabnya, mengapa kekerasan bakal terus dan akan tetap berulang di masa yang akan datang. Tidak usah muluk-muluk mendambakan Sila kemanusiaan yang adil dan beradab apalagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud. Jika kekerasan yang disisipkan ke dalam produk-produk budaya, nilai-nilai moral, seni, pengetahuan masih terus diproduksi dan dilanggengkan dari atas, oleh negara.


Saya kira omongan Uciha Madara ada benarnya juga untuk menggambarkan betapa kontradiktifnya nalar para pemangku kebijakan negeri kita sekarang. Biang keladi perang dunia ke-4 sinobi ini berkata: “dunia ini penuh kontradiksi. Manusia selalu menginginkan perdamaian. Namun di saat yang sama mereka juga menyukai peperangan”. Iya, suka perang. Negara kita suka perang melawan rakyatnya sendiri. Hihihi.