
Wajah Demokrasi kita Hari ini
“Seorang redaktur Koran berteriak keliling nusantara berkata “negara ini otoriter” tanpa sadar dia sendiri telah melanggar batas berekspresi dan membentuk opini provokatif, setau saya, etika jurnalistik tidak memuat asumsi hipotesa apalagi nalar liar belaka, seandainya saya presiden Koran tempo sudah saya bumi hanguskan, beruntung presidennya J****I namun masih bisa berkata otoriter #anomali. Menjawab konteks diatas presiden punya hak prerogative memperlakukan pembantunya termasuk juga para stafnya”
Begitulah caption salah satu kawan yang mengusik saya kemarin hari. Bukan saja karena substansi yang agak bermasalah, keresahan saya bertambah ketika story dalam aplikasi berbalas pesan whatsapp tersebut di repost oleh kawan saya yang lain, saya hanya menyimpan sedikit kontak, jadi tidak menutup kemungkinan ada lebih banyak repost dilakukan.
Ketika banyak teman-teman saya mengaminkan apa yang tertulis dalam caption tersebut, disitulah bertambah banyak generasi muda yang mempersempit makna dan nilai-nilai demokrasi. Bagaimana tidak? Ketika justifikasi pada media sekaliber tempo.co dianggap opini provokatif dan hanya berdasar pada “Nalar liar” karena menggunakan judul “wajah otoriter pemerintah Jokowi”.
Penggunaan kata “otoriter” dalam judul tulisan di kolom Tempo.co (“Wajah Otoriter Pemerintahan Jokowi”, tayang pada 28 April 2020 ) merujuk pada fakta dimana terjadi tindakan represif aparat berupa penangkapan terhadap Ravio Patra, seorang peneliti kebijakan public, keterbukaan informasi dan demokrasi yang dianggap memancing keonaran dan ujaran kebencian pada Rabu malam 22 April lalu. Utamanya kritik Ravio terhadap conflict of interest atau konflik kepentingan anggota stafsus millennial Presiden.
Tindakan represif aparat ini adalah output dari 5 surat telegram kapolri 4 April lalu, dimana salah satu poin yang dibidik adalah sanksi pidana bagi penghina presiden dan pejabat pemerintah lain di sosial media. Peluncuran surat telegram yang diklaim sebagai satu upaya penanganan penyebaran covid-19 ini tentu memantik api ditengah pandemi.
Pertama, upaya penanganan penyebaran covid-19 lewat jalur hukum bukanlah tindakan solutif ditengah massifnya gelombang ketidakpuasan masyarakat terhadap aksi pemerintah yang lamban. Kedua, bayang-bayang kelam pembatasan dan tindakan represif pada pers semakin kuat, menjadikan wajah otoriter orde baru sekonyong-konyong bermunculan, sangat jauh dari tugas pemerintah untuk “memberikan rasa aman” pada warga Negara.
Padahal, adanya pihak oposisi dan kritik yang diluncurkan pada pemerintah merupakan suatu hal yang sangat wajar dalam kehidupan Negara demokrasi. Tapi yah begitu, wong kita masih belajar demokrasi, jadi kalau ada kritik bukan jadi bahan evaluasi, melainkan alibi untuk menghabisi. Bukan hanya di elit Negara, tengok saja sekitar kita.
Mengutip filsuf Universitas Indonesia Rocky Gerung, bahwa Demokrasi hidup dengan kritik, esensi Kritik adalah evaluasi pikiran terhadap realitas, yaitu mengurai inkonsistensi kebijakan. Maka kritik yang kerap kali dilontarkan seharusnya bisa jadi vitamin menyehatkan sekaligus kabar gembira karena tak semua akademisi bermental feodal lantas menanggalkan ide dan pikiran.
“presiden punya hak prerogative memperlakukan pembantunya termasuk juga para stafnya” poin terakhir dalam caption tersebut juga meresahkan menurut saya apabila diaminkan banyak orang. Walaupun benar kita menggunakan sistem presidensiil, tapi eksekutif pemerintah pun dibatasi oleh konstitusi sebagai pembatas kekuasaan. Dimana Rakyat bukan hanya sebagai objek dalam kontrak social yang diwujudkan dalam kehidupan bernegara, sehingga (harusnya) Rakyat menjadi subjek yang memiliki ruang dalam pengambilan keputusan, atau dalam mengkritik kebijakan.
Begitulah, yang saya resahkan hanyalah bagaimana bisa mahasiswa benar-benar jadi agent of change, sosial counter wa akhwatuha jika terus-terusan mengaminkan semua hal yang belum jelas kebenarannya, jika nalar kritis kalah dengan baper baca judul tulisan?
Ah tolonglah, kita memang sedang sakit, tak perlu membohongi diri sendiri dengan merasa baik-baik saja. Tapi kalau memang tidak kuat menghadapi kenyataan yang demikian menyakitkan saya sarankan; mundur alon-alon, milih dalan liyane wae.