
Substansi Patuh
Oleh : Sidik Pramono
Patuh merupakan kata yang sering didengarkan dan didengungkan. Sedari kecil Kita sudah mengenal patuh sebab sejak dini Kita diperintahkan untuk patuh terhadap orang tua. Dalam hal apapun, mulai dari hal kecil hingga hal besar; yang umum sampai hal privat Kita harus patuh terhadap norma, peraturan yang ada. Patuh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti taat terhadap perintah, aturan, serta norma* yang ada.
Adanya sebuah kepatuhan akan pas untuk digunakan jikalau ada perintah ataupun aturan yang menyertainya. Hakikat yang melatarbelakangi adanya sebuah perintah atau aturan adalah untuk mengarahkan orang ke hal yang baik. Itu merupakan hal mutlak yang harus ada bila seseorang diharuskan untuk patuh. Bila hal tersebut tidak ada, maka sah-sah saja bila seseorang melakukan pembangkangan terhadap apa yang diperintahkan.
Sebagai kader, tentu kita ingat saat mengucapkan kalimat baiat yang berbunyi, “ketidak patuhan terhadap pimpinan merupakan sebuah pengkhianatan”. Kurang lebih begitu kalimat tersebut yang diucapkan setiap kader saat dilakukannya pembaiatan. Kepatuhan dalam berPMII merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan.
Namun bila kita menilik sesuai dengan yang tertuliskan sebelumnya, ruh dari sebuah perintah adalah mengarahkan menuju suatu kebaikan. Maka tak ada salahnya bila, setiap orang melakukan pembangkangan sebuah perintah bila telah di dalamnya terdapat muatan-muatan yang tidak mengarah pada kebaikan. Bila diamat-amati, penggunaan kata perintah akan disematkan pada sebuah pekerjaan yang mendatangkan sebuah manfaat dan kebaikan bila dipatuhi. Sebagai misal, manusia diperintahkan untuk patuh pada perintah agama maka akan mendapatkan maaf atas perintah tersebut. Akan sama bila, seorang patuh terhadap apa yang diperintah oleh orang tua.
Kepatuhan tidak serta merta membuat seseorang menerima secara letter leg apa yang diperintahkan. Di balik sebuah kepatuhan harus disertai nalar kritis terhadap perintah agar bisa menganalisa hal positif apa saat mematuhi perintah tersebut. Adanya kekritisan itulah yang akan membedakan antar sejatinya insan manusia dengan kerbau yang dicocok hidungnya dan ditarik semau penggembala. Dalam konteks kita ber-PMII kepatuhan sekali lagi merupakan sebuah hal yang wajib dilakukan. Tapi bukan patuh macam kerbau. Patuh yang disertai nalar kritis terhadap suatu perintah itulah yang perlu ditanamkan pada setiap Sahabat berjuang*.
Adanya nalar kritis tersebutlah yang akan membawa setiap Sahabat berjuang terlepas dari eksploitasi oleh salah satu atau beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Para Sahabat berjuang harus tahu apa kepentingan-kepentingan yang melatarbelakangi sebuah perintah. Seperti yang dikatakan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas bahwasanya, setiap hal tidak lepas dari unsur politik yang melatarbelakangi. Kembali lagi, ghiroh dari ber-PMII adalah semangat untuk membela rakyat yang tertindas, bukan membela oligarki atau otoritas yang menindas rakyat (tidak peduli apakah dia senior atau bukan). Para Sahabat berjuang juga perlu menentang setiap tindakan yang menjadikannya sebagai tembok berlindung atau kelompok pembela bagi pihak yang bersalah dengan dalih “ketidak patuhan terhadap pimpinan merupakan sebuah pengkhianatan.” atau menjadi tumbal dalam meraih jabatan, kekuasaan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
Sebagai contoh, beberapa waktu silam ada seruan untuk melakukan aksi berkaitan dengan salah seorang senior yang ditetapkan menjadi tersangka. Seruan tersebut tertuang dalam surat bernomor 391.PB-XIX.02.147.A-1.09.2019 yang dikeluarkan pada Rabu, 18 September 2019. Pada saat seperti inilah nalar kritis dalam menganalisis perintah diperlukan dan berusaha menjauhkan diri dari kepatuhan buta lantaran telah melafalkan kalimat yang tertulis sebelumnya saat pembaiatan dalam jenjang pengkaderan.
Wallahu a’lam bishshowab.
*Istilah penulis untuk menyebut Kader.