
Oleh: M. Sholihul Aziz (demisioner ketua PMII Komisariat UIN Walisongo)
Dalam ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah seringkali kita mendengar empat istilah yang menjadi laku utama seorang Murid (Seseorang yang menginginkan menuju Allah) agar mecapai tujuannya, yakni syariat, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Seiring dengan perkembangan teknonologi dan informasi nampaknya istilah tersebut dianggap sudah kuno dan ketinggalan zaman, padahal sebagai kaum Nahdliyyin yang menganut ahlussunnah wal jamaah penting kiranya untuk memdalami serta mengamalkannya.
Di sini penulis tidak akan mengulas makna dari keempatnya, fokus tulisan ini hanya semata pada pembahasan mengenai thariqat. Thariqat sendiri secara harfiyah berasal dari kata “thariq” yang berarti jalan, cara, dan metode. Secara istilah adalah jalan yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin. Tahapan ini meliputi amalan lahiriyah yang dikolaborasikan dengan fi’lul qolb (pekerjaan hati) seperti sabar, zuhud, istiqamah dan lain sebagainya.
Ada berbagai macam jenis thariqat yang berkembang di Indonesia, karena terlalu banyak jumlahnya maka PBNU memberi legitimasi khusus pada thariqah yang memang sanadnya muttashil sampai kepada Rasulullah dengan sebutan mu’tabarah an-nahdliyyah dan dikumpulkan dalam satu wadah yakni Jam’iyah Ahlu Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).
Meskipun dikumpulkan dalam satu wadah bukan lantas menghilangkan ciri khas masing-masing thariqah tersebut, tentunya semua thariqah mempunyai amalan, mursyid dan ciri khas yang menjadikannya berbeda satu sama lain. Legitimasi dari NU hanya sebagai tanda bahwa thariqah tersebut sudah memenuhi standarisasi dari NU dan sanadnya sudah dijamin sampai kepada Rasulullah saja.
Pergerakan sebagai Representasi Nilai Sufistik PMII
Sebagai kalangan Intelektual muda nahdliyyin, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang senantiasa memegang teguh prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah, PMII, tentu mempunyai karakteristik tersendiri dalam mengamalkan laku thariqahnya, yakni thariqah pergerakan dengan diiringi ta’lim wa ta’allum di dalamnya.
Dalam Tri Motto PMII sangat tergambar jelas bahwa sebagai khalifatullah fil ‘ard kader PMII harus mengamalkan dzikir, fikir dan amal sholeh. Hal ini menunjukkan bahwa ketiganya menjadi prinsip hidup yang harus dipegang teguh oleh setiap kader PMII dan menjadi landasan utama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Ketiganya juga sudah mengandung nilai-nilai sufistik yang sangat dalam.
PMII tidak akan menjadi PMII apabila meninggalkan ‘P’ yang mempunyai kepanjangan Pergerakan. Ini berarti menegaskan bahwa PMII merupakan organisasi pergerakan bukan himpunan, perserikatan atau perkumpulan massa saja, melainkan khittah PMII sendiri adalah bergerak. Bergerak dapat dimaksudkan bergerak dinamis menyesuaikan perubahan zaman dan tentunya bergerak melawan ketidakadilan penguasa.
Pergerakan PMII dalam upaya perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa merupakan representasi nilai sufistik yang sudah menjadi tradisi bahkan sejak masa para khulafa’urrasyidin. Para tokoh sufi pada masa tabi’in juga sering melakukannya. Sejalan prinsip ajaran Islam untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka perlawanan terhadap penindasan adalah interpretasi dari nahi munkar.
Melakukan kritik terhadap penguasa yang lalim sudah mendapat legitimasi dari Rasulullah SAW melalui sabdanya, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dikutip dari Nuansa Fiqh Sosial karya KH. Sahal Mahfudh, bahwa Umar bin Khattab suatu saat pernah mengatakan, “Siapa diantara kalian melihat adanya penyimpangan pada diri saya, hendaklah ia meluruskannya”. Salah seorang sahabat lalu menanggapi: “kalau saya menemukan penyimpangan pada dirimu maka akan kuluruskan dengan pedangku”. Mendengar hal tersebut Umar pun menjawab “Alhamdulillah bila di antara umat Muhammad ada yang mau meluruskan penyimpangan Umar dengan Pedangnya.”
KH. Aqil Siradj dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, menyebutkan bahwa perlawanan sufi terhadap kelaliman penguasa merupakan sebuah tradisi yang sudah ada sejak dahulu. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal bahkan sampai pernah dikriminalisasi sebab dituduh melawan penguasa.
Pergerakan dan Perlawanan Sebagai Bentuk Pengamalan Thariqah
Lalu apa yang menjadi ciri utama Thariqah Pergerakan ini? Sebagai kaum intelektual, PMII menyandang predikat Agent Social of Control (kontrol kebijakan penguasa), tentunya perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa adalah ciri utama dalam thariqah ini. Selain itu, maka penanaman kapasitas intelektual juga harus dipenuhi sebelum melakukan pergerakan ke arah perlawanan.
Oleh sebab itu Ta’lim Wa Ta’allum, belajar dan mengajar merupakan ciri selanjutnya. Di PMII tentu hal tersebut menjadi satu kewajiban mutlak yang tidak boleh ditinggalkan. Kader PMII harus menjadikan pojok-pojok angkringan dan warung kopi di sekitar kampus sebagai tempat berdialektika dan diskusi keilmuan. Sebab itu adalah kebutuhan primer yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Laku thariqah inilah yang sebenarnya menjadikan segenap kader PMII luhur. Karena tidak ada thariqah yang lebih tinggi selain thariqah Ta’lim wa ta’allum, tidak ada majlis yang lebih mulia selain majlis keilmuan. Maka dua hal ini yakni ta’lim dan pergerakan harus dikolaborasikan, agar tercipta laku intelektual namun tidak melupakan dinamika problem sosial di masyarakat.
Selain keduanya, tentu aspek spiritual harus tetap dijaga dalam khazanah pergerakan PMII, agar segala gerakan yang dilakukan dilandaskan dan ditujukan semata untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Tiga aspek spiritual, intelektual dan keberanian dalam melantangkan kebenaran ini merupakan aspek utama yang tidak dapat ditandingi keluhurannya.