Oleh: Sintia Indah Alami
Mahasiswi Jurusan Ilmu Falak angkatan 2020


Rasa aman dan nyaman makin hari terasa semakin sering terusik. Dunia seakan tak henti-hentinya mengabarkan berita duka dan seakan berita bahagia terasa menjadi duka pula. Rindu akan ketenangan. Menyebalkannya, selalu saja agama yang dikaitkan dengan ketidakamanan dan terusiknya kedamaian ini. Lalu apa benar agama yang katanya sebagai pusat kedamaian dan sumber dari kenyamanan hidup sekarang sudah beralih fungsi dan menjadi biang kerok dari setiap kerusuhan, terorisme maupun masalah pelik lainnya?


Agama yang dari lahirnya membawa rasa aman dan menebar kedamaian hidup bagi para pemeluknya, selalu di fitnah oleh mereka dan jadi kambing hitam. Andai saja agama ini seperti jajanan pilus kacang “Sukro” yang bisa ngomong, dia pasti tidak akan bohong dan menjawab “Kenapa kalian selalu menyalahkanku? mengaitkanku dengan setiap masalah yang kalian buat sendiri? Seakan- akan akulah yang jadi biang masalahnya. Tega sekali kalian!”.


Pemikiran Gus Dur yang selalu istiqamah dengan tegas menolak dan melarang mengaitkan agama dengan segala jenis terorisme maupun masalah keamanan lainnya. Mengatasnamakan agama ini semakin pelik ketika pihak-pihak lain pun ikut-ikutan membenarkan seakan-akan mereka seperti melihat bukti nyata. Seakan-akan mereka seperti melihat orang dengan penutup kepala sedang berjalan dalam gelap dan senyap di hadapannya, meneriaki, menyalahkan lalu langsung mengeksekusinya. Mereka mengaitkan apa-apa yang mereka sendiri tidak memahaminya dan tidak punya dasar yang jelas untuk menyalahkannya. Menyedihkan dan miris! Di lain hal dan peristiwa slogan-slogan bernafaskan islami mereka kait-kaitkan untuk saling menyalahkan. Jihad Fi Sabilillah dengan hadiah surga mereka bawa-bawa sedang mereka sendiri tidak memahaminya.
Komunitas Gusdurian Jogja juga menceritakan dalam salah satu artikelnya bahwa Gus Dur menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh para teroris untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Tidak bisa kita memperjuangkan syariat namun dengan melawan syariat.


Pernah suatu hari Gus Dur menjawab pertanyaan seorang wartawan yang menanyakan tentang kebenaran bahwa para teroris yang mati dalam aksinya tersebut apakah benar akan masuk surga dan bertemu bidadari? Hahaha, rasanya ingin saya tertawa jungkir balik membaca ulasannya. Lalu bagaimana jawaban Gus Dur? Gus Dur menjawab “memangnya sudah ada yang membuktikan? Tentu saja belum kan? Ulama’ maupun teroris belum pernah masuk surga, yang jelas para teroris tersebut bukan mati syahid tapi mati sangit (gosong kepanggang api). Kalaupun mereka masuk surga mereka akan menyesal karena kepalanya tertinggal di dunia dan ditahan oleh polisi sebagai barang bukti”. Begitu yang diceritakan Islahuddin dalam buku Gus Dur Menertawakan NU.


Namun memang tidak dipungkiri para pelaku teroris yang ditangkap maupun yang sudah tidak selamat mereka mengklaim diri mereka muslim. Lalu bagaimana pemikiran Gus Dur tentang muslim yang dibimbing dan mengikuti pelatihan kader terorisme?. Diceritakan pula dalam buku “ Islamku, Islam Anda dan Islam kita” bahwa para pemuda muslim yang memang jelas-jelas terlibat dalam terorisme mereka memang dipersiapkan dan direncanakan oleh seseorang yang menjadi biangnya. Mereka mendapatkan bantuan keuangan dan latihan-latihan guna melakukan tindakan-tindakan tersebut. Belasan bulan persiapan teknis dan finansial dilakukan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap diri mereka bertindak atas nama Islam. Dengan demikian, menjadi jelaslah arti hukum Islam bagi kehidupan mereka, menganggap apa yang mereka lakukan dan perjuangkan merupakan bagian dari pengabdian pada agama.


Dari sini terlihat jelas, bahwa mereka hanya mengatasnamakan diri mereka membela Islam padahal mereka juga lah yang merusak Islam. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan bisa merusak citra Islam dan Muslim secara luas. Hingga satu perbuatan keji mereka diartikan bahwa semua muslim seperti mereka dan menganggap Islam lah yang mengajarkan demikian.


Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Dalam buku tersebut juga dijelaskan kalau memang benar kaum muslimin melakukan tindakan-tindakan tersebut, jelas bahwa mereka telah melanggar ajaran ajaran agama. Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.


Penyebab lain dijalankannya tindakan-tindakan yang telah dilarang Islam itu sesuai apa yang dikatakan kitab suci Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW bahwa itu merupakan proses pendangkalan agama Islam yang berlangsung sangat hebat. Lalu bagaimana kita menghadapi ini semua? Dalam buku tersebut juga diberikan jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya.


Selain itu kita sebagai muslim juga dituntut untuk selalu belajar dan mempelajari ilmu agama secara menyeluruh. Tidak setengah-setengah dan tidak hanya memandang dari satu sudut pandang penafsiran yang maknanya masih umum. Tanpa kita belajar untuk memahami Islam yang sebenarnya, bagaimana bisa kita menjadi muslim yang baik dan tidak mungkin pula bisa mempertahankan Islam menjadi agama yang Rahmatan Lil Alamin. Karena pada dasarnya tidak ada satupun agama maupun keyakinan yang mengajarkan tindak kekerasan. Tindak kekerasan hanyalah ulah dari oknum dan tidak sepantasnya kita mengaitkannya dengan agama. Karena itulah kita selalu dituntut untuk selalu belajar dan terus belajar. Tanpa pemahaman yang baik dan berkembang kita akan terus tertinggal dan terjerumus. Kita harus terus mencoba beradaptasi dan tidak merasa bahwa hanya diri kita sendiri yang benar dan lainnya yang berbeda harus dimusnahkan, kalau terus-terusan saling menyalahkan, tidak mungkin kedamaian akan terwujud. Karena pemahaman yang baik, toleransi dan mau saling memperbaiki akan selalu menjadi akar dari kedamaian hidup. Tidak masalah kemarin berbuat salah, yang penting di hari esok kita perbaiki dan tidak mengulangi lagi. Jadikan pembelajaran dan sampaikan kepada orang sekitar agar tidak mengulangi lagi hal yang sama. Karena semua hal dalam hidup adalah guru dan pelajaran terbaik.