Ilustrasi : beritabeta.com

Oleh : Arifan

Seorang revolusioner yang tangguh, tak kenal lelah dalam segala perjuangannya, memegang teguh prinsip diri dan politiknya. Walaupun banyak dari hidupnya ia habiskan di penjara dan di daerah buangan karena politiknya yang berseberangan dengan pemerintah kolonial, ia tetap berjuang untuk republik tercintanya melalui perjuangan bawah tanah dengan segala penyamarannya. Hal inilah yang membuat Tan Malaka seolah asing di telinga rakyat Indonesia, ya, dibandingkan dengan Soekarno dan Moh. Hatta tentunya.


Ia terlahir di Suluki, Sumatera Barat tahun 1897. Setelah tamat sekolah, kemudian melanjutkan pendidikannya di Harleem, Belanda 1913. Enam tahun kemudian ia kembali ke Indonesia untuk menjadi guru bagi anak-anak kaum buruh di perkebunan Deli, Sumatera. Pada tahun 1921, ia mulai dekat dengan kehidupan politik, terlibat aktif dalam aksi-aksi mogok maupun perlawanan buruh di beberapa tempat. Hal itulah yang menyebabkannya dibuang dan memulai kehidupan bawah tanahnya.


Sebelum saya membahas terkait seperti apa peranan Tan Malaka dalam jejak pendidikan kerakyatan di Indonesia, alangkah baiknya jika saya menyampaikan sesuatu terlebih dahulu. Sumber data yang saya pakai dalam tulisan ini adalah sekadar satu buku, yaitu satu buku monumental dari Tan Malaka, autibiografi “Dari Penjara Ke Penjara.” Maka dari itu, seandainya kawan-kawan pembaca mengetahui lebih lagi dari yang saya tuliskan nanti, jangan sungkan-sungkan untuk berbagi ilmu di kolom komentar. Oke, terimakasih. Dan akan saya lanjutkan.


Di Deli
Kontribusi Tan Malaka dalam pendidikan di Indonesia bisa disebutkan yaitu sejak ia kembali ke Indonesia setelah belajar dari Harleem, Belanda. Ketika ia datang ke Deli pada Desember 1919 sampai dengan 1921. Di sana ia bekerja seagai seorang guru dari sekolah perkebunan anak-anak kuli-kebun.
Dalam tugasnya sebagai guru, ia bertugas untuk menyusun sistem pendidikan yang cocok dengan keperluan anak-anak di sana. Namun hal tersebut tidaklah mudah, dalam bekerja, Tan berhadapan denga tuan-tuan besar yang kolot. Salah satunya adalah keloganya yang ia sebut sebagai W. W adalah seorang yang dikenalnya di Belanda sebagai orang yang berpaham sosialis. Namun seolah melupakan pahamnya sewaktu di Belanda itu, W saat menjadi guru kepala sikapnya berbalik, lebih pongah dan semena-mena. Sering Tan Malaka menegurnya, namun yang didapat malah kemarahan dan pertanyaan, “siapa yang kepala?” kata W, namun dengan tegas Tan Malaka menjawab, “Tidak ada kepala, saya datang ke sini hanya untuk bekerjasama dengan kamu.” Dan dalam tulisannya ia melanjutkan
Hanya saya heran, kenapa orang yang belum berapa lama di negerinya dendiri berusaha menghapuskan guru-kepala, sekarang lupa akan prinsipnya sendiri. (Halaman 78)


Memang menurut Tan, dalam pekerjaannya saat itu—mencari metode pendidikan yang cocok, bukan tempatnya untuk saling kepala-mengepalai. Meskipun kolega W lebih tua dan lebih berpengalaman darinya, tapi pengalaman W itu di hadapan murid-murid Belanda, bukan tentang jiwa murid Indonesia yang tentunya berbeda.


Sebenarnya Tan Malaka sudah menemukan metode pendidikan yang cocok untuk anak-anak di sana, yaitu pendidikan yang mengedepankan pada keinginan hati masing-masing anak. Ia memandang bahwa selain dekat dengan anak-anak, juga harus dekat dengan orang tua mereka. Ya, meskipun ini sulit dilakukan di masyarakat perkebunan karena kedudukannya terjepit antara orang Belanda dengan warga Indonesia sendiri, jika Tan lebih dekat dengan Belanda, maka ia tidak akan mendapat kepercayaan penuh dari bangsanya sendiri. Namun pada akhirnya ia tetap berangsur-angsur mengajak kuli-kontrak atau pegawai kebun berkunjung ke rumahnya untuk membahas hal tersebut.


Singkat cerita, suatu hari diadakanlah rapat yang akan membahas soal pendidikan di perkebunan. Rapat tersebut didatangi oleh tuan besar dari semua Senembah Mij.


Yang mengherankan tidak ada tuan-tuan kecil yang hadir. Lebih mengherankan lagi, tak melihat kolega saya sendiri yang ingin menjadi ‘kepala’ atas saya tempo hari. Jadi tak heran, kalau saya benar-benar terperanjat mendengarkan pertanyaan Dr. Jansen menyangkut sekolah perkebunan. Sebetulnya tuan W, kolega saya yang mesti hadir dan menjelaskan tentang pendidikan di perkebunan. (Halaman 83)


Setelah mendapat pertanyaan dari Dr. Jansen, Tan Malaka menyampaikan gagasannya nyang ia simpulkan sebagaiberikut :
Bahwa maksud pendidikan anak-kuli terutama, ialah mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si murid, seperti tujukan kepada anak bangsa dan golongan apapun. Selain pendidikan kecerdasan, kemauan dan perasaan itu mesti ditanam kemauan kebiasaan bekerja tangan dan perasaan menganggap pekerjaan tangan adalah pekerjaan yang penting dan bagi masyarakat tak kurang mulianya daripada otak semata-mata. Senembah Mij khususnya dan Deli umumnya tidak akan rugi, kalau di sekitarnya banyak buruh halus dan kasar yang benar-benar cakap, efisien, dan mempunyai keinginan hidup yang tinggi. Mungkin pada permulaan Senembah Mij harus membayar biaya yang seakan-akan percuma, tetapi lama-kelamaan biaya itu akan kembali berlipat ganda, efisiensi naik dan konsumsi bertambah. (Halaman 83-84)


Saya yakin benar alasan yang diungkapkan Tan Malaka dalam rapat tersebut adalah bukan alasannya yang sesungguhnya, melainkan untuk sekadar meyakinkan tuan-tuan yang datang. Namun sayang sekali ia menyampaikan hal tersebut kepada orang-orang yang tuli. Ia sebenarnya sudah merasakan hal ini karena memanglah logika Belanda perkebunan sangat bertentangan dengan gagasan Tan Malaka, mereka berpandangan bahwa sekolah untuk anak kuli itu hanya membuang-buang uang saja. Tak ada gunanya dan mereka (anak-anak kuli) akan menjadi lebih brutal dari orang tua mereka—ya, memang di perkebunan tersebut seringkali ada pemberontakan kuli hingga pembunuhan kepada Belanda. Kata Belanda kebun, “Suruh saja anak kuli itu mencangkul, habis perkara.” Bagi Belanda, sekolah tani, tukang, guru, itu semuanya membuat gaduh saja.
Tan Malaka juga mengungkapkan bahwa Dr. Jansen, seorang yang mengusulkan sekolah untuk Senembah Mij itu, oleh para tuan besar dianggap sebagai idealis, etis, sebagai seorang goblog dan diejek-ejek dibelakangnya.


Di Semarang
Juli 1921, Tan Malaka berpindah ke Semarang, kota yang olehnya disebut “Kota Merah” ini menjadi lapangan perjuangan baru buatnya, karena di sinilah ia mulai berjuang dengan rekan sehilir semudik, seminum semakan, dan seperjuangan-sepasukan.
Semarang yang terkenal sebagai kota merah kala itu karena di Semarang terdapat suatu markas serikat kerja buruh kereta api yaitu VSTP (Vereeniging van Spoor den Tram Personeel atau Serikat Sekerja Kereta Api), yang berdiri pada 1904 dan bisa dibilang paling teratur di Indonesia. Pernah memiliki anggota yang membayar iuran sebanyak 17.000 orang dengan cabang di mana-mana, percetakan, dan surat kabar yang rapi secara modern. Saat itu VSTP diketuai oleh Semaun (Serikat Islam Semarang) yang mendapatkan bantuan dari beberapa orang Belanda bekas pemogok di negerinya dan dapat disebut sebagai pelopor gerakan Serikat Sekerja di Indonesia. Di samping VSTP ada juga PKI yang dulunya bernama ISDP (Indisch Sociaal Democratisce Partij atau Partai Sosial-Demokrat Hindia Belanda) yang didirikan kaum sosialis revolusioner Belanda tahun 1914. Selain itu, sebagai perwakilan atau partai rakyat jelata adalah Sarikat Islam Cabang Semarang, yang berpisah dari Sentral Serikat Islam karena melanggar disiplin. Ada jug NIP (Nationale Indische Partai) dengan pimpinannya yang terkenal seperti Dowes Dekker (Setiabudi), Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).


Tekad untuk mendirikan perguruan yang cocok dengan jiwa dan keperluan rakyat Murba masa itu memang sudah ditata oleh Tan Malaka. Dasar tujuannya sudah ia pastikan, pegalamannya selama kurang lebih dua tahun di Deli adalah modalnya. Yang ia butuhkan saat itu adalah tempat kemerdekaan bekerja, bahan berupa rumah dan alat, dan yang tak kurang penting adalah lingkungan yang mengandung penghargaan atas pekerjaan perguruan.


Pernah suatu ketika Tan Malaka mampir ke rumah seorang guru yang bernama Hoines, seorang inspektur sekolah rendahan Indonesia di Jakarta. Oleh Hoines Tan ditanya apakah Tan Malaka membutuhkan pekerjaan di kota itu, ingin bekerja apa, dan Hoines hendak membantunya. Namun Tan malah menjawab bahwa ia hendak meneruskan maksud yang ia bawa, yaitu mendirikan sekolah. Tak ada bantahan dari teman gurunya itu, sang guru malah mengatakan, “Teruskan saja.”


Kemudian saat berkunjung ke Yogya, Tan Malaka mendapat bantuan dari Sutopo, seorang bekas pimpinan surat kabar Budi Utomo. Oleh Sutopo, Tan Malaka diperlakukan sangat baik seolah seperti saudara yang baru pulang merantau. Kemudian Sutopo juga memperkenalkan Tan Malaka kepada kawan-kawannya, dan mengusahakan mendirikan sekolah yang hendak Tan Malaka pimpin. Namun kebetulan pada saat itu ada rapat besar SI di Yogya yang diadakan karena adanya “Kritik Darsono”. Oleh Sutopo, dekenalkanlah pula Tan Malaka pada Tjokroaminoto, Darsono, dan Semaun di rapat tersebut.


Di sinilah bau-bau akan adanya suatu perguruan atau sekolah di Semarang tercium, ketika berkenalan dengan Semaun ia menuliskan dalam bukunya Dari Penjara Ke Penjara sebagai berikut:
Semaun, dengan pakaiannya yang sederhana tetapi amat menarik hati, seperti juga wajah dan senyumnya, belum lagi menanyakan beberapa hal sudah berkata kepada saya: “Bersiaplah saudara untuk pergi ke Semarang bersama-sama kami esok hari. Nanti kami akan berusaha agar saudara dapat memimpin perguruan. Memang sudah pada tempatnya. (Halaman 92)


Sesampainya di Semarang, Semaun membuat rapat istimewa untuk anggota Serikat Islam Semarang dan mengusulkan mendirikan perguruan. Usul tersebut diterima dengan baik dan pendaftaran dibuka di hari itu juga. Perumahan sekolah atau tempat belajar-mengajar tidak terlalu dibingungkan, karena pada waktu itu Serikat Islam Semarang mempunyai gedung sendiri untuk rapat, dan gedung inilah yang nantinya akan dijadikan tempat belajar-mengajar. Alat-alat belajar, termasuk diantaranya papan tulis dan perkakas lainnya segera diperoleh juga. Dalam sehari-dua hari saja perguruan tersebut sudah mengajar kurang lebih 50 murid, Tan Malaka sebagai pengajarnya.


Tujuan dari sekolah atau perguruan ini adalah buakan mendidik murid menjadi juru tulis seperti sekolah pemerintahan waktu itu. Melainkan, selain untuk mencari nafkah diri sendiri dan keluarga, juga untuk membantu rakyat dalam pergerakannya. Jelas pula disampaikan Tan Malaka bahwa dasar kerakyatan yang dipakai adalah kerakyatan dalam masa penjajahan, hidup bersama rakyat untuk mengangkat derajat rakyat jelata. Bukan utnuk menjadi sesuatu yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah untuk menindas bangsa sendiri. Dengan tujuan macam itu, maka metode yang dipakai perguruan ini adalah memajukan kecerdasan, perasaan, dan kemauan murid. Kemudian disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pekerjaan rakyat sehari-hari, idaman rakyat, dan pergerakan serta organisasi rakyat.


Karena hampir seluruh murid ialah anak petani, buruh, dan pegawai atau pedagang kecil yang langsung atau tidak langsung berhunbungan erat dengan Serikat Islam, maka menyesuaikan pendidikan murid dengan pekerjaan idam-idaman dan gerakan rakyat sehari-hari itu bukanlah pekerjaan yang sulit. Tidak mengherankan kalau selang beberapa lama, sang orang tua memandang anaknya sebagai ahli waris mereka dalam pekerjaan dan cita-cita.” (Halaman 94)


Mudahnya, pendidikan model Tan Malaka adalah mendidik anak petani sebagai petani, anak buruh sebagai buruh, anak pegawai sebagai pegawai, dan anak pedagang sebagai pedagang dengan segala profesionalitas dan prinsip politik kerakyatannya.
Tan Malaka mengingatkan sebuah pertunjukan demon yang dilakukan oleh para murid yang dilakukan di tengah-tengah Serikat Islam. Beberapa murid yang baru berusia 14 tahun meminta bantuan orang tua dan mengkritik serta mengajak bekerja lebih keras para temannya sendiri untuk organisasi mereka. Kemudian sesudah itu, para murid bercelana merah berbaris di depan khalayak dan menyanyikan lagu Internationale/internasional pertama kali di antara rakyat Indonesia. Semuanya berjalan dengan cepat, rapi, dan teratur yang kemudian disambut oleh tepuk tangan para penonton dan beberapa penonton menyambut dengan berlinang air mata, takjub, sedih, dan gembira. Yaitu sedih karena nasib anaknya dan diri sendiri, dan sekolah dengan alat yang serba kekurangan. Gembira karena para murid dididik bukan untuk menjadi alat penajajah, melainkan untuk mengangkat derajat rakyat tertindas, terhisap, dan terhina : golongan mereka sendiri. Seolah merasa mendapatkan calon pahlawan.


Murid semakin bertambah bahkan mencapai lebih dari 200. Banyak tenaga pendidik yang menawarkan diri, bahkan ada yang ingin meninggalkan pekerjaannya demi menjadi pendidik di sekolah tersebut dengan sukarela. Selain tenaga pendidik dari luar, setiap sore Tan Malaka mengadakan kursus sendiri yaitu mendidik murid di kelas 5 untuk menjadi guru dan mendidik guru yang ada supaya menjadi guru yang berhaluan kerakyatan.


Dalam waktu yang begitu cepat sekolah tersebut menyita perhatian nasional tentang model perguruan Tan Malaka. Banyak daerah-daerah yang meminta untuk mendirikan cabang sekolah, namun sayangnya masih terlalu sedikit tenaga dan pusat di Semarang pun belum kuat.


Bandung sudah tidak bisa ditahan lagi. Rumah sekolah yang bagus dengan kebun dan tempat permainan murid yang luas, telah disediakan dermawan, anggota Serikat Islam. Semua tenaga yang ada dikerahkan untuk mendirikan sekolah rakyat yang kedua di Bandung, dengan murid antara 200 hingga 300 orang. (Halaman 96)


Seiring berjalannya waktu, mau tak mau Tan Malaka terjun pula ke dunia politik, dan hal inilah yang membuat dirinya tidak mengetahui perkembangan sekolah yang ia bangun sampai sedemikian rupa karena ia dibuang—tentu karena perbedaan politiknya dengan pemerintah kolonial. Namun sekolah itu tidak lantas berhenti atau mati, Sekolah Rakyat justru tumbuh bagai jamur di musim hujan. Dinamainya Sekolah Rakyat yaitu karena Serikat Islam Semarang diganti dengan nama Serikat Rakyat, sehingga nama sekolahnya pun menyesuaikan dengan organisasi induknya. Ke mana saja murid Semarang mengunjungi rapat rakyat, di sana segera didirikan Sekolah Rakyat model Semarang. Para murid dengan celana merah dan lagu internasionalnya berkumandang di daerah-daerah didirikannya Sekolah Rakyat.


Dalam Encyclopedie van Ned Ootihdie Vi Suplement halaman 534 mengatakan sebagai berikut:
Di mana-mana berdiri Sekolah Rakyat model Tan Malaka; di antara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Serikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya sesuai dengan sistem Komintern. Di mana mungkin dibuat sebagai warga rumekso akan menjadi kader organisasi, awalnya dalam rapat terbuka, kemudian dalam rapat anggota atau rapat tertutup yang terbatas. Aturan (Pemerintah) untuk penyelidikan perguruan partikulir bumi putera (Ind. Stsb. 1932 No. 136 jo 374) ternyata tak berdaya untuk memberantas propaganda perguruan yang semacam itu. (Lihatlah pemberitahuan pemerintah tentang beberapa masalah kepentingan umum, April 1924; Bijl. A. Koloniaal Verslag 1924).” (Halaman 96-97)
Begitulah kiranya sekelumit perjalanan Tan Malaka dalam mengupayakan pendidikan kerakyatan di Indonesia pada masanya. Sangat jauh berbeda dengan pendidikan di Indonesia saat ini yang selalu mempropagandakan kerja kerja dan kerja. Seolah esensi dari pendidikan yang sesungguhnya (mencari ilmu) itu dikesampingkan. Para pelajar selalu digiring dengan naskah sekolah yang tinggi, dapat ijazah buat daftar kerja, cari uang uang dan uang. Teingat perkataan kakek saya, “pendidikan jaman sekarang selalu digiring untuk mencari uang, mereka ridak dididik untuk bisa menyuguhkan bahan pangan. Memang uang kita butuhkan dalam hidup, tapi kalau ada uang, tidak ada bahan pangan, bisakah kita hidup?” Entahlah.

*Artikel ini pernah diterbitkan di agroikos1.blogspot.com pada 3 Mei 2020, atas persetujuan dari penulis kami menerbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.