Isu tentang kesetaraan gender adalah isu yang sampai saat ini tidak ada habisnya. Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa laki-laki dan perempuan adalah beda. Tetapi gender bukan tentang jenis kelamin, melainkan perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi melalui konstruksi sosial pada suatu masyarakat. Proses terbentuknya genderisasi terjadi melalui proses yang sangat Panjang. Dari mulai terbentuknya beberapa faktor yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, dilanggengkan oleh mitos suatu masyarakat tertentu serta dikuatkan melalui kekuasaan negara. Sedemikian Panjangnya proses terbentuknya genderisasi, maka lambat laun perbedaan gender pada laki-laki dan perempuan akan semakin melekat. Hal ini kemudian melahirkan adanya anggapan bahwa perbedaan tersebut merupakan pemberian dari tuhan dan bersifat kodrati.

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terus-menerus itu disosialisasikan melalui Pendidikan secara langsung maupun tidak langsung seperti pada keluarga, sekolah, masyarakat serta negara. Contoh kecil pada tingkat keluarga, anak laki-laki diberi mainan robot, mobil-mobilan, senjata dan sebagainya. Sedangkan pada anak perempuan diberikan mainan yang notabene-nya cenderung domestik seperti mainan masak-masakan, boneka, peralatan rumah tangga dan lainnya. Dengan harapan bahwa anak laki-laki lebih gagah, perkasa dan perempuan yang lebih ke pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu dll. Pendidikan pertama anak adalah keluarga yang justru secara tidak langsung mengajarkan perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Proses seperti ini terjadi secara turun temurun yang kemudian dilanggengkan oleh masyarakat itu sendiri tanpa mempertanyakan mengapa ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.

Perbedaan jenis kelamin digunakan untuk membedakan antara peranan domestik dan peranan publik. Peranan domestk yaitu peranan yang berhubungan dengan rumah tangga. Peranan domestik cenderung diberikan kepada kaum perempuan. Sedangkan peranan publik merupakan peranan yang menghasilkan uang, kekuasaan serta pengaruh yang diberikan kepada kaum laki-laki. Pembagian peran yang tidak seimbang ini melahirkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan ketidakadilan gender.

Permasalahan tentang ketidakadilan gender melahirkan gerakan feminisme dengan tujuan untuk mendobrak budaya patriarki yang selalu dilindungi oleh structural fungsional. Feminisme merupakan serangkaian gerakan sosial, gerakan politik serta ideologi yang bertujuan untuk memperjuangkan hak hak Wanita agar mendapatkan hak yang sama di berbagai bidang. Feminisme lahir dengan tujuan untuk merubah budaya patriarki yang telah melekat sejak lama. Salah satu tokoh perempuan yang memperjuangkan hak hak kesetaraan di Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini. Perjuangannya tetap harus terus diperjuangkan untuk tercapainya kesetaraan. Gerakan feminisme yang terus menggelorakan kesetaraan tentu masih banyak golongan-golongan yang menolak adanya gerakan tersebut seperti kelompok-kelompok fundamentalis agama, konservatif, dan populisme sayap kanan.

Indonesia telah menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan berkedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan, hal tersebut tertuang dalam pasal 27 UUD 1945. Namun pada kenyataannya masih banyak sekali ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dimana masih banyak diskriminasi terhadap kaum wanita terjadi dimana-mana. Seperti pada pekerja wanita, dimana dalam persoalan pemberian upah misalnya bagi pekerja wanita lebih rendah dibandingkan laki-laki, dan tidak adanya tunjangan bagi keluarga dengan anggapan bahwa perempuan itu dianggap lajang yang tidak memiliki anak dan suami sehingga pekerja wanita tidak mendapatkan tunjangan bagi keluarganya.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990 tentang Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan negara. Peraturan Menteri Pertambangan No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No. 10/1994 tentang prosedur memperoleh NPWP.

Menurut data tahun 2012, Komnas Perempuan telah mengidentifikasi ada sekitar 282 peraturan Daerah yang diduga bias gender. Beberapa peraturan perundang-undangan pun tidak bisa mengakomodasi kesetaraan gender yang telah dijamin oleh Indonesia pada Undang-undang Dasar tahun 1945. Sebagai manusia serta penduduk Indonesia tentunya kita harus memperoleh hak yang sama dalam berperan serta berpartisipasi dan menerima manfaat di segala bidang. Banyaknya peraturan yang bias gender tersebut tentunya bertentangan dengan cita cita kemerdekaan Indonesia yaitu mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan Makmur.

Permasalahan tentang keadilan gender hingga saat ini masih terjadi yaitu pada UU No. 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja atau Peraturan Perundang-undangan No. 2 tahun 2022. Di mana dalam pengesahannya dianggap ugal-ugalan dan dinilai tidak meaningfull participation. Selain itu, isi dari UU tersebut dianggap menjadi risiko kemunduran keadilan gender karena banyak pasal yang memiliki potensi memundurkan perlindungan hak pekerja dan kepastian hubungan kerja serta dapat merugikan perempuan pekerja secara tidak proporsional. Komnas Perempuan juga menuturkan bahwa dalam UU tersebut ada potensi mengurangi jaminan  perlindungan yang sudah ada di dalam UU Ketenagakerjaan, yang secara tidak proporsional akan merugikan perempuan pekerja.   

Selain itu, dalam sektor politik perempuan juga memiliki hak yang terbatas dalam persoalan porsi jabatan di kursi pemerintahan, yakni hanya sekitar 30% dalam hak partisipasi politiknya. Sedangkan 70% lainnya adalah untuk mengakomodir jatah bagi laki-laki. Bukan tanpa alasan, pembedaan tersebut karena perempuan masih dianggap tidak bisa lepas dari peran utama nya mengurus rumah tangga. Padahal rumah tangga dibangun bukan hanya atas kontribusi dan partisipasi perempuan saja melainkan didalamnya bersama dengan laki-laki yang menduduki tulang punggung keluarga. Dan tentunya rumah tangga adalah tanggungjawab Bersama bukan hanya salah satu antara perempuan dan laki-laki.

Permasalahan-permasalahan mengenai ketidakadilan gender masih banyak terjadi dikalangan masyarakat serta para penguasa. Untuk itu masih banyak hal yang harus diperjuangkan untuk tercapainya kesetaraan gender. Peran feminisme dalam memperjuangkan keadilan harus terus dikembangkan. Tetapi meskipun perjuangan tersebut berasal dari feminisme, bukan berarti bahwa perempuan harus selalu diunggulkan daripada laki-laki. Melainkan perempuan dengan laki-laki harus setara.

Dalam konteks dunia politik, perubahan yang terjadi harus ada kontribusi pemikiran dari perempuan, karena bagaimanapun juga antara laki-laki dengan perempuan itu memiliki nilai yang sama. Keterwakilan perempuan dalam pembangunan tentu bisa membawa ide dan gagasan yang bisa merepresentasikan kepentingan konstituen. Selain itu untuk tercapainya cita-cita Indonesia dengan menjunjung tinggi akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender tentunya memerlukan partisipasi dari berbagai kalangan. Untuk itu peran perempuan sangat penting dalam pembangunan yang sehat dan adil tanpa adanya diskriminasi dan ketidakadilan. keterlibatan perempuan dalam pembangunan politik yang berwawasan gender sangat penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan gender dan keadilan gender. Untuk itu perempuan dituntut untuk usaha memasuki dunia publik , sementara untuk laki-laki perlu memiliki kepekaan terhadap peran domestik.

Oleh : Rida Alfiana
Kader PMII Rayon Syariah Angkatan 2020