

Oleh: Sintia Indah Alami (Mahasiswi Jurusan Ilmu Falak Semester 2). Kader eLKAP
Pernahkah terlintas di pikiran kalian kalau semua pelajaran yang selama ini dipelajari belum terasa ada manfaatnya? Atau hanya merasa otak penuh sesak dengan bermacam-macam ilmu namun masih merasa belum satu pun bermanfaat maupun dapat menyelesaikan masalah sehari-hari? Atau pernah merasa yang dipelajari banyak, tapi yang menunjang di kehidupan real kok dirasa hanya “ampasnya” saja, santannya mana? Saya pun merasakan hal ini, dan baru merenunginya beberapa menit lalu. Tenang saja, hanya merenungi tidak sampai melamun, apalagi sampai bengong dengan mulut melompong, hahaaha.
Jika Sahabat/i juga belum pernah dan berkenan meluangkan sedikit waktu untuk membaca bukunya Edi Subkhan, “ Pendidikan Kritis: Kritik atas Praksis Neo-Liberalisasi dan Standardisasi Pendidikan”, mungkin ini akan sedikit membantu, bahwa mungkin selama ini siswa maupun yang maha sudah terdoktrin, saya katakan kebanyakan ssaja, ya. Tapi tidak semua. Syukur kalau Sahabat/i bukan salah satunya.
Argumentasinya menarik, ia mengatakan bahwa hanya manusia berkualitaslah yang mampu menjadi penggerak pembangunan Indonesia, apa Sahabat/i setuju? Saya sih iyees. Yang saya tidak setuju itu ialah menjadikan standar berkualitas hanya terbatas pada pintar/ tidak pintar. Sementara orang yang pintar selalu diatrubusikan dengan mendapat nilai yang tinggi di bidang eksakta. Atau orang yang terlihat cakap karena dia selalu banyak berbicara, menyampaikan pendapat atau pikiran, ide dan gagasannya. Tapi memang, They are All Amazing.
Atau tanpa disadari, doktrin ini juga sudah meracuni kita?
Mereka yang nilai eksaktanya tinggi, tentu tidak asing dengan kata-kata “Ayoo..belajar lebih giat matematikanya, bahasa Inggrisnya”, dan ini itu, agar setelah lulus bisa melanjutkan ke sekolahan favorit. Dulu sebelum 2003, istilah NEM masih sangat familiar. Meskipun sekarang “nggak guna lagi”. Waktu itu, mereka diracuni untuk berlomba-lomba belajar giat supaya NEM tinggi, supaya bisa masuk sekolah lanjutan favorit. Mereka didoktrin kalau SMK, bisa langsung kerja. Yang faktanya ya untung-untungan, untung kalau langsung dapat kerja. Akan tetapi, lulusan SMK yang sudah bekerja pun tetap saja masih banyak yang mengeluh dengan gaji murah atau bahkan belum dapat pekerjaan. Atau pihak perusahaan yang merasa terlalu banyak lulusan SMK, hingga menjamur di satu bidang dan akhirnya pihak perusahaan enggan menampung mereka, syukur kalau mau jadi OB.
Atau lulusan SMA, yang diharapkan masuk perguruan tinggi menjadi mahasiswa, dan didoktrin agar nanti setelah wisuda hidup di kota bisa jadi pekerja kantoran, jadi PNS, atau jadi politikus dan semacamnya. Lalu yang tidak lulus SMA dibuang menjadi pekerja kelas rendah, yang tak punya ketrampilan. Lalu apa bedanya semua lulusan itu, kalau mereka akhirnya ditujukan sebagai pekerja? Apa guna ilmunya? Apa nggak buang-buang waktu dan uang? Sebetulnya pendidikan seperti apa yang kita harapkan? Apa perlu perubahan? Terkadang malas memikirkannya, tapi saya sendiri berada di fase ini. Karena itu pikirkan mulai sekarang sebelum menjadi beban pikiran kita.
Umumnya, kepintaran yang dimiliki hanyalah sebatas teori dan praktiknya pun tidak ada hubungannya dengan kebutuhan riil. Matematika, bahasa Inggris, filsafat, hukum ataupun sedikit baca-baca buku tentang sains seperti kimia, biologi, dan lainnya itu penting dipelajari. Saya tidak mengatakan itu tidak berguna. Tapi apakah kebutuhan masing-masing orang sama sementara backgroundnya berbeda-beda? Kita tahu ada yang dari daerah terpencil, atau bahkan daerahnya masih terbelakang. Ada yang mungkin orang tuanya bertani, beternak, nelayan maupun lainnya. Tidak mungkin kan semua lulusan jika nanti terjun ke masyarakat, tapi keilmuan yang mereka dapatkan kok tidak mendukung ketika terjun di masyarakat. Atau jika misal yang asalnya dari desa, seharusnya mereka juga belajar mengenal potensi ekonomi lokal tapi dijejali geometri atau kimia teoritik. Ataupun di desa yang serius butuh pengetahuan tentang bagaimana beternak, berkebun tapi dijejali dengan fisika dan biologi teoritik. Ya. Tentu basic itu perlu, tapi jika keilmuan masih sangat umum, apa akan bisa bermanfaat langsung? Tentu tidak. Akhirnya mereka gagap realitas ketika kembali ke dunia nyata kehidupan sehari-hari mereka.
Betapa kita, orang tua kita, dan negara telah membuang banyak biaya untuk menyelenggarakan pendidikan yang tidak bermakna ini, bahkan sampai hutang ke luar negeri untuk membiayai, namun nyatanya hanya fokus untuk perbaikan pendidikan formal saja, tanpa melihat bahwa jam-jam kehidupan dan realitas sosial menanti kita, bahwa kehidupan sosial banyak kita temukan di luar sana, karena jelas lingkungan masyarakat dan realitas sosial adalah sumber masalah dan pengetahuan yang tidak akan ada habisnya.
Sayangnya, dalam buku itu hanya menyajikan solusi melalui jalan revolusi pendidikan. Beranggapan bahwa kompleksitas permasalahan pendidikan kita, pendidikan formal, dari filosofi sampai praktiknya tidak cukup sekedar direformasi, namun butuh perubahan radikal untuk sistem pendidikan Indonesia. Namun saya belum puas jika hanya mengandalkan satu saran dari Edi Subkhan ini, apa Sahabat/i punya ide maupun kritik saran untuk pendidikan Indonesia?
Tidak ada salahnya, sampaikan! Saya pun sedang mencoba memikirkannya.