
Oleh : Jamaluddin Pamrayoga
75 tahun sudah Indonesia bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman tanam paksa dan bebas untuk meyuarakan aspirasi rakyatnya, akan tetapi tak mengherankan lagi pasca reformasi ketika negara mempunyai pasal-pasal yang dianut oleh pemerintah kolonial untuk membungkam gerakan kemerdekaan yang dinamai pasal penyebar kebencian (haatzaai artiekelen). Hal ini tidak lupa dengan perkataan Sukarno dalam bukunya di bawah bendera revolusi: “rakyat yang tidak merdeka adalah rakyat yang sesungguh-sungguhnya tidak-merdeka. Segala gerak-bangkitnya adalah tidak-merdeka. Segala kemauannya, segala pikirannya, segala rohnya dan nyawanya adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak leluasa, mau itu tidak leluasa. Mau ini ada ranjau, mau itu ada jurang”. dari perkataan itu soekarno telah meberikan kebebasan pendapat untuk mengkritik undang-undang kolonial itu.
Indonesia dengan gaulnya mengatakan sebagai negara demokrasi padahal sebagai negara demokrasi itu sistem yang diciptakan untuk menjamin kebebasan orang lain. Semuanya bebas melakukan aktivitas yang diinginkan tanpa dibatasi atau diintervensi oleh siapapun. Socrates juga pernah menyebutkan bahwa demokrasi banyak orang tidak senang jika pendapat mereka disanggah sehingga mereka membalas dengan kekerasan. “Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan terbunuh,” hal ini yang nantinya menimbulkan gerakan anarkisme karena kekecewaaan demokrasi yang selalu medewakan kebebasan individu.
Memang perwujudan dari demokrasi itu sangatlah baik yaitu mempunyai cita – cita agar rakyat bisa mengontrol pemerintahan sesuai kehendak rakyat. Akan tetapi demokrasi yang sebenarnya adalah sistem yang menghendaki suara rakyatnya malah sekarang dijadikan ajang untuk kuropsi pada saat rakyat sedang memilih pemungutan suara. Nah hal ini yang menimbulkan bahwa demokrasi sekarang hanya bersifat seperti upacara saja. Ketika rakyat sudah mulai mengkritik jalannya pemerintahan malah pembungkaman secara menyeluruh terjadi. Tak lupa juga tindakan reprensif dari polisi yang lupa akan kode etiknya sendiri. Di negara demokrasi seorang pejabat, termasuk presiden dan wakil presiden, harus mau dikritik sebagai bagian dari cara berdemokrasi yang efektif.
Agamben, seorang filsuf dari Italia juga mengkritik bahwa negara demokrasi sudah pasti menjunjung tinggi kebebasan dan juga hak asasi manusia. Tetapi faktanya, beberapa negara yang mengklaim diri mereka sebagai negara demokrasi, justru tidak menciptakan “kedaulatan umum.” Yang diciptakan justru “daulat pemerintah”, yang telah melakukan tindakan tidak demokratis dalam memaksakan kebijakannya yang bertentangan dengan kepentingan umum.
Di Indonesia sendiri konstitusi kita, UUD 1945 menjelaskan negara telah memberikan kebebasan dan perlindungan hukum kepada setiap warganya dalam memeluk dan melaksanakan agama. Padahal kenyataanya banyak organisasi-oraganisasi yang tidak mengakui konstitusi tersebut. Tak dipungkiri lagi bahwa bahaya dari penolakan terhadap konstitusi itu akan menimbulkan maraknya radikalisme, munculnya anarkis-sindikalis. Hal ini dipicu oleh negara yang mempunyai landasan demokrasi akan tetapi masih terjadi pembungkaman pemikiran terhadap kebebasan pendapat itu sendiri.
Isu yang terbawah dalam negara demokrasi hanya isu yang dulu, sekedar hanya merefleksi dari tahun ke tahun. Hal ini yang kita dapat dari isu demokrasi yang dulu yang di situ hanya menjunjung tinggi kebebasan sipil dan juga menjunjung hak asasi manusia yang universal, akan tetapi di balik semua itu apa yang menjadi realitas demokrasi itu hanya tumbal yang membunuh kedaulatan umum dan hak-hak asasi. Nah dalam hal ini yang bisa dimengerti bahwa demokrasi itu lebih susah menjadikan perubahan-perubahan dari kepentingan pribadi ke kedaulatan rakyat.
Sebagai mahasiswa yang menyandang gelar agen of change, kita harus mempunyai tekat dalam memperjuangkan hak-hak yang dirampas karena demokrasi itu lahir dari perjuangan menggulingkan raja dan tirani kekuasaan, yang minim transparansi dan partisipasi rakyat dalam mengelola suatu negara.