
Oleh: M. Luthfi Nanang
Mahasiswa kelayapan
Filsafat Materialisme Karl Marx mengatakan bahwa sejarah peradaban manusia lahir dan berkembang berdasar pada faktor kebendaan. Bahkan, ia menempatkan ‘materi’ sebagai peran utama faktor konstitutif proses sosial politik historis kemanusiaan. Kehidupan manusia dalam berbagai aspek dan lini yang meliputi berasal dari keadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka.
Bercermin dari pola dan tatanan masyarakat yang mencirikan pada aspek kebendaan, seiring berjalannya zaman melalui beragam dinamika sosial, muncullah kelas strata sosial yang terbagi ke dalam kapitalis atau borjuis dan proletar atau kaum buruh. Pengkotak-kotakan strata sosial tatanan masyarakat adalah akibat dari salah kaprahnya mindset masyarakat yang menempatkan faktor kebendaan sebagai peran penentu kesejarahan.
Fenomena ini semakin membulat ketika meletusnya Revolusi Industri pertama di dunia yang memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya dunia. Tersebutlah misalnya ketika masa penjajahan kolonial. Dengan beragam corak dan kebijakan yang diberikan kolonial kepada pribumi Hindia Belanda, mulai dari tanam paksa, kerja rodi hingga sistem perpajakan sepihak adalah bentuk dari begitu masifnya dampak revolusi industri yang menjadi titik balik sejarah umat manusia.
Mengingat bangsa penjajah yang berangkat dari negaranya sendiri mempunyai sejumlah kapasitas modal dengan kualitas dan kuantitas mumpuni. Datang dengan tujuan utama dan pertama merebut dan menguasai kepemilikan negara terjajah. Sedangkan negara yang menjadi sasaran eksploitasi dan akumulasi belum terjamah dengan peradaban teknologi dan revolusi industri.
Secara tidak langsung, peradaban manusia dari dulu hingga sekarang dikuasi oleh kelas yang menguasai bidang ekonomi. Oleh sebab itu, negara bukanlah lembaga yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, tetapi merupakan alat bagi kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Oleh sebab itu, faktor kebendaan yang ditempatkan Marx sebagai peran utama faktor kesejarahan manusia memaksakan diri agar berlaku di setiap bagian dunia.
Dampak lain dari Revolusi Industri tidak hanya berhenti pada perubahan kelas strata sosial yang menurut Marx dalam teori Kelas Sosial terbagi ke dalam tiga bagian; kaum buruh, kaum pemilik modal, dan tuan tanah. Dampak perubahan kelas strata sosial sendiri pun juga mengakibatkan pada karakteristik dan pandangan manusia yang sedikit lebih individualis, solidaritas rendah hingga pengistimewaan laki-laki dibanding perempuan.
Bangkitnya Budaya Patriarki
Di tengah perubahan kondisi alam, di mana kondisi baru tidak lagi memberikan kemungkinan untuk bertahan hidup hanya karena apa yang ada di sekelilingnya dikuasi oleh orang yang menguasai ekonomi, kapitalis juga tuan rumah. Maka tidak heran kalau sistem sosial menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemilikan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Sistem tersirat ini mengindikasikan kepada penempatan perempuan, baik dalam hal kewenangan maupun hak dalam kepemerintahan, di bawah kekuasaan laki-laki. Dan seringnya kita sebut dengan istilah ‘Patriarki.’ Patriarki sendiri berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya.
Menurut Engels, sistem patriarki dimulai ketika manusia mulai mengenal kepemilikan pribadi, di mana sistem kepemilikan ini juga menandai adanya sistem kelas. Engels mencoba menjelaskan bagaimana sistem patriarki ini lahir dan menjadi sistem yang bertahan terus sampai sekarang seakan-akan telah menjadi sistem yang alamiah (taken for granted).
Dewasa ini, isu patriarki di Indonesia selalu menjadi topik perbincangan hangat dan selalu menempati trend utama dalam kajian-kajian keilmuan di kalangan kaum intelektual. Hanya karena cita utama bangsa yang tersurat dalam sila kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” menjadi pemantik semangat dan ikhtiar penyeteraan status sosial perempuan dengan laki-laki.
Ironisnya, isu patriarki di Indonesia masih begitu kuat hingga mengakar pada setiap lini kehidupan dan menjadi beban mental bagi perempuan. Dalam pusaran patriarki, perempuan selalu diidentikkan dengan “masak, macak, manak.” Dalam kesehariannya, perempuan dipaksa-kerjakan kalau tidak masak, menghias diri demi kepuasan suami atau melahirkan untuk melanggengkan keturunan.
Salah satu dari sekian penyebab patriarki masih menjadi penyakit sosial dan beban bagi masyarakat perempuan Indonesia adalah kelas kapitalis ikut melanggengkannya. Dalam contoh kecil, gambaran pariwara dengan gaya visual menarik mengenai tayangan kosmetik, aksesoris juga busana yang sasaran utamanya perempuan. Tidak lain, mindset yang tertanam pada diri perempuan hanya melulu tentang penampilan dan kecantikan.
Hingga tidak lama ini, makna ‘perempuan’ dalam KBBI menuai beragam komentar dan tanggapan. Pasalnya, kata ‘perempuan’ didefinisikan secara negatif. Defini perempuan yang dipermasalahkan oleh beragam kalangan ialah sebagai berikut:
perempuan/pe.rem.pu.an/ 1. n orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; 2 istri; bini –nya sedang hamil; 3 betina (khusus hewan).
Defini tersebutlah yang mengundang beragam tanggapan. Lantaran pemaknaan arti perempuan yang terlalu negatif dan terkesan tidak objektif. Belum lagi, hal ini semakin diperparah oleh iklim patriarki di Indonesia. Tidak hanya sebatas sasaran budaya tetapi sudah dilegitimasi bahasa. Penjelasan Badan Usaha mengatakan KBBI disusun berdasarkan penggunaan oleh penutur bahasa Indonesia.
Hal ini menandakan kalau masyarakat Indonesia sendiri masih terbiasa dengan bentukan-bentukan bahasa negatif terhadap perempuan. Mereka belum siap atau mungkin terima apa saja hal-hal yang sudah ada sejak dulu tanpa diolah kembali. Pandangan masyarakat selalu dikaburkan dengan peristiwa-peristiwa yang ada di depan mata hingga menimbulkan istilah yang tak jarang bertolak belakang dengan fakta.
Belum lagi keberagaman perubahan dinamika sosial mengaburkan pandangan manusia menjadi sedikit lebih individualis dan rendah toleransi. Sebenarnya, apa yang sudah kelas kapitalis berikan untuk konsumsi masyarakat luas tidak hanya berakibat pada semakin mengakarnya patriarki di Indonesia. Lebih dari itu. Bisa menjadi potensi tembok penghalang interaksi antar sesama masyarakat. Yang mampu berkumpul sendiri dengan orang yang mampu dan sebaliknya.
Selangkah Lebih Maju Menggerus Patriarki
Sebelumnya, R.A Ajeng Kartini bersama tokoh perempuan lainnya, seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dien dan tokoh lainnya dengan semangat kebebasan dan penyetaraan peran membuat gerakan ‘Emansipasi Wanita.’ Sebagai bentuk reaksi dari sistem sosial yang menempatkan peran perempuan di bawah laki-laki digubah dengan persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum perempuan dengan pria).
Dalam lingkup politik pun, seringnya kita mendengar bahwa ‘perempuan’ tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Bahkan, dalam agama Islam, seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin laki-laki dalam wilayah kepemimpinan umum. Sama dengan kasus dalam ibadah, tidak boleh dan tidak sah jika sholat imamnya adalah perempuan sedangkan makmumnya laki-laki.
Namun ada satu pendapat ulama yang mengatakan bahwa makmurnya suatu negara ditentukan oleh peran dan andil perempuan dalam negara tersebut. Jika perempuan itu baik maka negaranya juga akan baik dan begitu pula sebaliknya. Hingga pada akhirnya, salah satu presiden Republik Indonesia berasal dari perempuan, yaitu Megawati Soekarno Putri menggantikan presiden sebelumnya Abdurrahman Wahid.
Hal ini bisa menjadi lanskap pemandangan baru dan penilain berbeda terhadap pribadi perempuan. Bahwa, tidak hanya laki-laki yang mampu dan layak menjadi pemimpin, perempuan pun tidak menutup kemungkinan bisa berada di posisi itu. Mengingat Indonesia adalah negara hukum yang bercirikan demokrasi. Siapa pun, terlepas dari laki-laki dan perempuan, berhak dan layak mendapatkan hak yang setara secara proporsional.
Seperti apa yang sudah diutarakan dalam Diskusi Mascunility: Peran Laki-laki dalam Memperjuangkan Kesetaraan yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika, bahwa untuk mencapai kesetaraan gender dan terhapusnya kekerasan terhadap perempuan, maka perlu diperlukan kesadaran secara menyeluruh. Salah satunya dengan melibatkan laki-laki untuk ikut melakukan perubahan dan kini saatnya perempuan juga layak mendapat keseataraan yang sepadan.