Polemik Pengesahan KUHP baru akhir-akhir ini mengguncang masyarakat nasional dengan sederet pasal kontroversi di dalamnya. Terdapat 14 pasal bermasalah, yang mana jika dihitung lagi terdapat kurang lebih 73 pasal termasuk dalam persoalan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Ada beberapa pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi, di antaranya yakni pada pasal 218 dan 219 terkait penyerangan kehormatan dan martabat presiden maupun wakil presiden, kemudian dalam pasal 240 terkait penghinaan baik secara lisan maupun tulisan kepada kekuasaan umum maupun lembaga negara.
Dalam pasal 241 misalnya yang isinya: “setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui oleh umum dipidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”, dalam pasal ini jelas kebebasan berekspresi dapat terancam, karena segala bentuk kritikan akan dengan mudah di pidanankan.
Selain itu pasal 353 dan 354 juga memberbicara hal yang sama. Pasal-pasal tersebut tidak dapat dibedakan mana batasan kritik dengan penghinaan sehingga disebut pasal karet karena dapat mengancam kebebasan berpendapat masyarakat. Padahal dalam Pasal 28 dan 28 E ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, nyatanya sekarang undang-undang tersebut tidak dihiraukan maupun dijadikan pertimbangan oleh pejabat pembuat undang-undang
Segala aturan seharusnya didasarkan dan dibuat atas hak asasi manusia dan kebebasan sipil, tetapi KUHP yang baru ini malah mengeliminasi dan cenderung mengesampingkan hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Kebebasan sipil merupakan pilar dan indikator dari demokrasi dan jelas bila hal tersebut dihilangkan akan menciptakan negara dengan kepemimpinan yang otoriter. Maka dari itu semua aturan di dalam Republik Indonesia harus selalu menjunjung tingi kebebasan berpendapat guna terciptanya negara demokrasi.
KUHP lama yang sering dikaitkan dengan persoalan kolonialsme, dan menjadikan hal tersebut sebagai alasan terbesar pemerintah untuk membentuk dan mengesahkan KUHP baru. Istilah ini sering digaung-gaungkan sebagai dekolonisasi sebagai pengganti pasal-pasal kolonial yang masih ada hingga hari ini. Alih-alih dekolonialisasi pasal lama, beberapa pasal malah merekolonialisasi hukum kembali.
Sekarang sudah era reformasi jauh berbeda dengan era orde baru dan era kerajaan Indonesia kuno yang menilai penghinaan atau kritik terhadap pemerintahan merupakan hal tabu yang tidak boleh dilakukan oleh rakyat. Pada tahun 2006, MK sudah menetapkan Pasal 218 terkait penghinaan presiden dan wakil presiden merupakan pasal inkonstitusional, namun dalam KUHP Baru pasal ini kembali di aktifkan.
Padahal jelas pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ini ditolak karena dinilai masih multi tafsir, artinya semua orang bisa menjadi pelaku dan tindakannya bisa dianggap sebagai tindak pidana penghinaan. Pasal di atas merupakan pasal karet, tidak memiliki kategori jelas mengenai standar seperti apa yang dianggap sebagai penghinaan. Jangan-jangan celoteh seperti “presiden pembohong, saat kampanye janji untuk menyejahterakan rakyat tapi pada kenyatannya rakyat mana yang disejahterakan” juga bisa disebut sebagai penghinaan.
Kembali lagi kepada diksi “menghina”, menghina disini hanya menyinggung masalah personal dan tidak sedikitpun berpengaruh terhadap negara maupun simbol negara. Hal ini menjadikan presiden seolah-olah merupakan orang suci yang terbebas dari kesalahan dan hinaan.
Pada KUHP Sebelumnya, telah banyak orang yang didakwa dan dijatuhi hukuman karena menghina presiden. Beberapa orang tersebut diantaranya adalah Sri Bintang Pamungkas yang divonis hukuman 10 tahun penjara karena terlibat demo anti soeharto di jerman pada tahun 1995. Pada tahun 2003, aktifis mahasiswa yakni Nanang dan Mudzakir dijatuhi vonis 1 tahun penjara karena dianggap menghina presiden yakni menginjak foto Megawati dalam unjuk rasa di depan Istana Merdeka. Ketua PBHI, I Wayan Suardana dijatuhi hukuman 6 bulan penjara karena dianggap menghina presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam aksi menolak kenaikan harga BBM pada tahun 2005. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pasal penghinaan terhadap presiden dianggap membelenggu kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Di negara hukum pasal ini tidak relevan karena bertentangan dengan asas equality before the law yakni persamaan di depan hukum. Larangan penghinaan ini seakan-akan memperlakukan presiden dan wakil presiden sebagai warga istimewa padahal pasal penghinaan harus berlaku umum terhadap semua orang. Jadi apabila pasal penghinaan terhadap presiden ini diadakan maka penghinaan terhadap rakyat juga harus diadakan.
Seperti telah dijabarkan diatas, KUHP baru yang digaung-gaungkan menghilangkan aturan kolonial (dekolonialisasi) justru malah mengembalikan aturan kolonial yang telah inkonstitusional. Jangan sampai pasal-pasal karet dan kekhawatiran masyarakat tentang KUHP yang mengebiri kebebasan berekspresi, mengebiri kebebasan berpendapat, mengebiri kebebasan pers untuk menyampaikan kritik dan kebenaran untuk kepantingan publik. Justru KUHP harus melindungi kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers. Karena KUHP sangat menentukan bagaimana hukum untuk kedepannya.
Oleh: Umi Khoiriyah (Kader dan Anggota Biro Kaderisasi PMII Rayon Syariah)