Oleh: Lembaga Studi Advokasi dan Gender (LASKAR) PMII Rayon Syariah

Melalui Lembaga Studi Advokasi dan Gender (LASKAR), PMII Rayon Syariah Komisariat Walisongo Semarang memiliki wadah khusus yang bergerak di bidang strategi penghapusan kekerasan berbasis gender yang notabene juga merupakan isu HAM, serta turut andil dalam membangun kerjasama dengan berbagai komponen agar bergerak aktif untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, serta mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan hak yang lebih baik.

Sebagaimana kita ketahui bersama pada tanggal 25 November hingga 10 Desember merupakan suatu momentum untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) atau yang biasa disebut dengan Peringatan 16 HAKTP, yang sudah selayaknya kita peringati bersama.

Peringatan ini sebagai bentuk kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Rentang waktu tersebut memang sengaja dipilih, karena secara simbolik, antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM ada kaitannya. Artinya, kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu pelanggaran HAM.

Sedangkan tanggal tersebut dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva, dan Maria Teresa) akibat tekanan dan penganiayaan serta pembunuhan keji oleh penguasa diktator Republik Dominika, yaitu Rafael Trujillo, pada tanggal 25 November di tahun 1960, ketika melakukan perjalanan menuju Puerro Plata tempat suami Patria dan Minerva ditahan di penjara La Cuarenta.

Mirabal bersaudara merupakan perempuan tangguh yang menolak tunduk pada kediktatoran Trujillo, pemerintahan yang berkuasa pada masa itu. Aksi-aksi Mirabal bersaudara yang terang-terangan dan lantang melawan ketidakadilan yang dilakukan Trujillo saat itu berlawanan dengan budaya machoisme yang ada sehingga Mirabal bersaudara dianggap sebagai sebuah ancaman. Budaya machoisme, atau ekspresi kejantanan dan maskulinitas yang berlebihan dan agresif masih sangat kental dan dominan setelah negara Dominika dijajah oleh bangsa Spanyol dan Portugis, akibatnya perempuan seringkali dianggap sebagai objek belaka dan manusia pasif. Di bawah pemerintahan diktator Rafael Trujillo yang berkuasa di Dominika sejak tahun 1930 hingga akhir hayatnya pada tahun 1960, Trujillo menjadikan perempuan sebagai objek dan alat untuk menaikkan statusnya dan mendapatkan kepuasan seksual.

Trujillo sendiri berangkat dari latar belakang kehidupan militer. Semasa hidupnya, ia menikahi tiga perempuan. Istri pertamanya Aminta dia ceraikan, karena Aminta berasal dari keluarga miskin yang malah akan menghancurkan reputasinya jika dia membawa Aminta ke lingkaran elit. Istri kedua Bienvenida dia nikahi untuk menaikkan status sosialnya karena Beinvenida berasal dari keluarga yang terpandang. Kendati demikian, Trujillo tetap menceraikan Bienvenida dan menikahi selingkuhannya, Maria.

Tak berhenti di situ, Trujillo juga tak segan-segan untuk menunjukkan ketertarikannya pada perempuan lain selain istrinya. Bahkan, Trujillo sering memilih perempuan muda untuk dieksploitasi secara seksual. Tak jarang, orang tua akan menyembunyikan anak perempuan mereka dari Trujillo ketika Trujillo berkunjung ke daerah mereka. Sebab menolak permintaan Trujillo, diartikan sama saja dengan membangkang dan melawan yang konsekuensinya adalah dipenjara.

Pernah suatu ketika Minerva dan saudari-saudarinya diundang ke sebuah pesta di rumah mewah Trujillo di San Cristobal. Akan tetapi, Minerva menolak ajakan kencan Trujillo dan kabur bersama keluarganya untuk menghindari amarah Trujillo. Penolakan Mirabal bersaudara tersebut menggambarkan pemberontakan perempuan yang melawan untuk tunduk pada tradisi yang mensubordinasi perempuan. Sejak saat itu, keluarga Mirabal terbuka menunjukkan sikap oposisi terhadap pemerintahan Trujillo.

Minerva, Maria Teresa dan Patria sering berafiliasi dengan gerakan melawan Trujillo. Patria sering meminjamkan rumahnya untuk pertemuan dan rapat gerakan, sedangkan Minerva dan Maria Teresa lebih terlibat dalam merencanakan revolusi.

Untuk mengenang Mirabal bersaudari, maka hari kematiannya pada 25 November dijadikan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam suatu Konferensi Feminis Amerika Latin dan Karibia pada tahun 1981. Lalu pada 1991, Women’s Global Leadership Institute menggagas kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dari 25 November hingga 10 Desember.

Di Indonesia sendiri juga pernah terjadi pembunuhan kejam terhadap pejuang perempuan, Marsinah. Kala itu pada masa orde baru, Marsinah sebagai seorang buruh perempuan yang bekerja di pabrik Arloji marah ketika melihat temannya dipecat semena-mena. Kemudian ia menjadi tokoh perempuan yang menginisiasi sebuah gerakan menuntut keadilan atas pemecatan teman-temannya. Ia dan para buruh juga menuntut agar mereka diberikan upah yang layak.

Marsinah menggugat perusahaan dan pemerintah daerah, namun yang terjadi malah tuntutan para buruh direspon dengan tindakan represif oleh tentara yang juga punya kepentingan dalam meredam tuntutan buruh pada masa itu.  Atas keberanian dan pemikiran kritisnya, rezim Orde Baru yang bersifat otoriter dan anti kritik menganggap Marsinah sebagai sebuah ancaman yang harus dimusnahkan.

Sudah 75 tahun silam naskah proklamasi dibacakan, namun sampai saat ini Indonesia belum bisa menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Kasus Baiq Nuril, Agni di Jogjakarta, Frisca di NYY, pemerkosaan anak pengungsi gempa Sulteng di Makassar, dan masih banyak lagi kasus serupa menjadi bukti.

Mengacu hasil pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan oleh BPS tahun 2016, menujukkan 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15-64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir[i].

Data-data ini bukan sekedar kumpulan angka statistik, di masa yang akan datang, mungkin jumlah korban kekerasan berbasis gender akan terus naik jika tidak ada upaya serius untuk menanganinya. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yang digadang sudah cukup lengkap dalam mendefinisikan kekerasan seksual, cakupan dan sanksi hukumnya. Namun nyatanya, hal itu nihil ditunaikan oleh pemerintah. Malahan RUU P-KS yang diusulkan pemerintah sejak 2016 resmi dihapuskan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020.

Kendati demikian, perjuangan penghapusan kekerasan berbasis gender tetap harus disuarakan. Mirabal bersaudara telah mengajari kita, meski ditindas oleh rezim otoriter, keadilan harus tetap didengungkan. Begitu pula Marsinah, seorang perempuan berani yang lantang membela hak-haknya. Dan masih banyak lagi perempuan-perempuan berani yang patut kita baca lagi sepak terjangnya memperjuangkan keadilan dan kita tiru pergerakannya. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa pergerakan, khususnya kader PMII Rayon Syariah, harus membaca sejarah sebagai bentuk penghormatan, refleksi, serta menjadikannya sebuah pijakan bergerak dan berfikir kritis.


[i] https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/03/30/1375/satu-dari-tiga-perempuan-usia-15—64-tahun-pernah-mengalami-kekerasan-fisik-dan-atau-seksual-selama-hidupnya.html#:~:text=Hasil%20pendataan%20Survei%20Pengalaman%20Hidup,mengalaminya%20dalam%2012%20bulan%20terakhir. Diakses pada kamis 10 Des 2020, pukul 11.40 WIB.