oleh : Jaedin

Budaya gotong royong di Indonesia semakin pudar. Pernyataan ini bisa dilihat dari rumah-rumah yang temboknya besar, pagar rumah tinggi, sampai tidak kelihatan pintu rumahnya. Sifat-sifat egoisme terlihat semakin tinggi. maraknya bentuk rumah yang kurang ramah terhadap tetangga. Padahal orang akan meliahat bagaimana cara baergaul dengan sesama dicerminkan dari perlakuan bagaimana baik dan tidak dengan tetangga. Jika orang bertetangga baik. Bagaimana dengan orang yang rumahnya tinggi, pagarnya tebal dan tinggi?

Apakah orang yang semacam ini akan harmonis dengan tetangga, sharing apapun dengan tetangga? Saya rasa ini akan sulit untuk bisa berkomunikasi dengan tetangga apabila rumah-rumah semakin menutup diri. Tetangga pun akan sungkan untuk berkomunikasi. Pagar besar menjulang tinggi melemahkan rasa harmonis dalam bersosial. Pada bersosial itu penting orang akan meminta pertolongan pastinya mencari yang terdekat dari jarak rumahnya.

Bukan ibu, bapak, atau pun saudara. Melainkan tetangga sebuah hal yang penting jika kita memerlukan sesuatu. Lebih-lebih ketika terkena musibah atau hajat yang membutuhkan orang banyak. Hidup bertetangga harus saling mengromati dan saling menjaga ketertiban lingkungannya. Pertama saling percaya terhadap tetangga. Dewasa ini, rumah-rumah banyak dijaga oleh satpam sebagai penjaga keamanan rumah. Hal ini disebabkan kurang percayanya terhadap tetangga.

Padahal Nabi Muhammad mengajarkan kebaikan kepada tetangga, tetangga menurut Nabi Muhammad adalah empat puluh rumah dari jarak rumah yang terdekat dari kita. Baik itu keutara, keselatan, barat, ataupun timur. Islam sendiri mengajarkan taawun (saling tolong menolong) mengajarkan toleransi, menjaga kerukunan dalam sesama, serta ajaran taawun disni saling menolong dalam kesusahan ketika orang lain membutuhkan.

Aristoteles ilmuan Yunani, sebagai seorang sosiolog terkenal, menyatakan manusia adalah zhon politicon yaitu manusia adalah makhluk yang bersosial, maka tidaklah mungkin jika kita hidup sendirian tanpa adanya orang lain. Sekaya, sepintar, sekuat apapun tetap kita masih membutuhkan orang lain. Maka sifat-sifat sombong, angkuh, individualisme, yang ada dalam diri manusia tidaklah sesuai dengan ajaran Islam sekaligus teorinya bapak sosiologi tersebut.

Seyogyanya, dalam masyatakat meskipun dihadapkan dengan berbagai masalah dan kesibukan diluar tidak menghilangkan keharmonisan dalam bertetangga. Kita bisa merubah dari segi arsitektur sendiri untuk memudahkan orang berkomunikasi.

*Mahasiswa jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo