Oleh : M Waliyuddin
Era digitalisasi saat ini, arus informasi di media sosial beransur update begitu cepat. Namun dengan kelimpahruahan informasi, ternyata tak berbanding lurus dengan kedewasaan masyarakat dalam bertindak atau mengambil keputusan. Mereka termakan oleh keyakinannya tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Apakah ini yang dinamakan era post-kebenaran?
Ketika ada fakta di media sosial yang sejalan dengan keyakinannya, maka diyakinilah kebenaran fakta tersebut. sebuah informasi real dapat kita percayai kebenarannya, dilihat dari adanya fakta yang bertitah dari proses verifikasi hingga menemukan sebuah kesimpulan.
Dimana rasionalitas mereka?. Orang-orang kebanyakan miskin reflektif. Tak ada rasa bertanggung jawab, acuh tak acuh. Tak mau peduli mana yang palsu mana yang asli, mana yang jujur mana yang bohong. Keterbatasan pengetahuan tak menyuruti niat mereka untuk menyebar luaskan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Kita tahu kabar bohong (hoaxs) tentu bukan hal baru bagi masyarakat indonesia. Belakangan ini kita tengah mendengar kabar drama kebohongan besar yang tengah ramai di perbincangkan masyarakat. Hingga muncul koferensi pres yang diprakasai orang-orang besar di negeri ini. mantan menteri, calon presiden, petinggi partai dan lainnya. Mereka menyuarakan simpati pada kebohongan ini, dan ternyata faktanya hanya halusinasi belaka.

Mereka terjerembab dan terkepung dalam berita palsu. Apakah sebelumnya mereka tak berfikir untuk memverifikasinya terlebih dahulu?. Namun malah mengamininya. Dan dijadikan alat untuk menyerang salah satu pihak. Disini kadar rasionalitas sadar mereka perlu di pertanyakan. Narasi kekerasan dan kebencian akan terus berkembang.
Perlunya Komunikasi
Kemampuan komunikasi menjadi hal dasar yang perlu kita pahami bersama. Studi komunikasi tengah membaca bahwa masyarakat kita mengalami pudarnya kemampuan berkomunikasi terhadap diri sendiri ( Impersonal Commnication). mereka lebih percaya terhadap keyakinan diri mereka masing-masing.
Era media sosial saat ini, kemampuan komunikasi internal diri sendiri menghilang pada begitu banyak orang. Pengguna tak perdulikan latar belakang pendidikan dan status sosial mereka. Dengan mudahnya menyebarkan berita palsu yang belum diketahui kebenarannya untuk di konsumsi banyak orang.
Bangsa ini tengah dimabuk namanya media sosial. Ditengah era digital yang bermaksud untuk mengambil sisi baiknya, justru sebaliknya mereka mengambil sisi madaratnya. Kita tahu bahwa setiap orang berperan sebagai subjek. Maka dari itu, mereka harus bertanggung jawab dalam memilah milih informasi yang disebarkannya.
Kordinasi diperlukan sekali dalam menanggapi hal ini. sifat tergesa-gesa di singkirkan terlebih dahulu. Mencari tahu seberapa real informasi yang tersebar, menjadikan tolak pikir seseorang tersebut progresif. Hal yang perlu diantisipasi benar dalam konteks ini adalah keadaan nihilistik dalam ruang publik.
Publik menjadi hal sentral yang menjadikan tersebarnya informasi tersebut. maka dari itu tingkat internal komunikasi perlu dibangun, sebelum men share dengan leluasa.
Menjaga Hati
Dunia maya merupakan cermin hati dari setiap diri seseorang. Keteguhan hati mereka di uji. Apakah hati mereka kuat untuk mencari tahu sebuah informasi yang jelas kebenaranya. Atau mungkin tanpa berfikir panjang menyebarkan dengan egosentris mereka masing-masing.
Pada suasana batin tertentu, kebenaran tak lagi jadi penentu. Sebaliknya, segala alasan dicari untuk membenarkan tindakan yang telanjur salah. Cerminan hati tak berbanding lurus dengan realita. Terkdang hati ini merasa kotor setelah melakukan hal yang kurang baik.
Perluya kesadaran diri untuk membina suasana hati yang tentram. Seperti apa yang di katakan filsuf sufi Imam Al Ghazali, “Penyakit hati itu laksana belang di wajah seseorang yang tak punya cermin. Jika diberitahu orang lain pun, mungkin ia tak mempercayainya.”
Janganlah puas hanya menjadi generasi pemangsa berita bohong, penyantap kabar burung, atau penikmat konten negatif lainnya. Di era kebebasan berpendapat saat ini, berempati dan menggunakan rasa makin perlu dilakukan bersama. Setidaknya untuk menjaga kata-kata agar tak melukai sesama.
*Kordinator Elkap PMII Rayon Syari’ah, aktif di organisasi Literasi Intelektual Ngaliyan (LINTING)*