
Kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementrian Pertanian, Presiden Jokowi mengatakan bahwa bangsa ini harus mampu membangun peradaban baru untuk mencapai Indonesia maju. Dimana peradaban baru tidak hanya sekedar menghadirkan aset fisik, seperti infraksturktur, tetapi juga membangun kekuatan Sumber Daya Manusia (SDM), dengan SDM yang berkualitas cita-cita Indonesia Maju bisa terwujud.
Dalam konteks pembangunan pertanian, komitmen pemerintah menyejahterakan petani tidak perlu di pertanyakan kembali. Dimana petani sebagai pelaku utama produksi pangan, bagian integral dalam pembangunan pertanian. Keberhasilan pembangunan itu terletak dari kedaulatan petani itu sendiri.
Kita sudah mafhum betul dangan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan diperguanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat tersebut menegaskan tentang kedaulatan rakyat dan mengisaratkan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya dengan melakukan pengelolaan sumber daya tersebut secara adil.
Alangkah paradoksnya atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi telah memberikan pembenaran terhadap pemerintah sebagai representasi negara, abai dalam memberi rasa keadilan tersebut, terutama kepada petani. Pemerintah selama ini yang berkuasa justru mempraktikan kebijakan yang memberi ruang besar kepada investor asing untuk mengelola berbagai sunber daya yang strategis, termasuk sumber daya agrarian. Akibatnya tidak sedikit dari petani yang telah mengalami pemiskinan secara masal karena mesti tercabut dari tanah miliknya sebagai sumber satu-satunya penghidupan selama ini.
Sahabat-sahabati juga masih ingat dimana pidato pelantikan presiden kita untuk periode keduanya, melakukan pembukaan selebar-lebarnya bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, di juga dengan tegas akan membabat habis bagi siapa yang menghalang-halanginya. Dan itu sangat berkebalikan sekali dengan bapak proklamasi, dan pejuang-pejuang kemerdekaan. Ia sangat berharap yang menikmati kekayaan itu adalah rakyat Indonesia sendiri bukan orang asing, bahkan sampai jiwa raganya ia korbankan demi kesejahteraan bangsa dimasa mendatang.
Adapun program yang ditawarkan oleh pemerintah ialah menyinergikan dan mengoptimalkan program dan anggaran dari kementrian/ Lembaga(K/L) lain guna membangun pertanian. Dimana ada sebuah filosofi yang di dengung-dengungkan yaitu program and budget for agriculture bukan program and budget in agriculture. Melalui upaya tersebut, kementrian menargetkan bisa tumbuh mencapai 5 persen. Dimana anggaran sangat terbatas, oleh karenanya menggalang sumber dari lain menjadi plihan rasional. Dengan skema dukungan permodalan melalui Lembaga Keuangan Mikro Agrobisnis (LKM-A) yang disinergikan dengan kredit usaha rakyat (KUR).
KUR yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian dari hulu hingga ke hilir, dengan harap modal 50 triliun dari total 190 triliun dimana 26,4 persenya untuk sektor pertanian, adalah ide yang bagus. Namun yang perlu bapak menteri tahu, petani sebenarnya tidak benar-benar butuh uang-uang tersebut. petani masih mampu memodali sawah yang ia garap sekalipun setelah dirinya membayar pajak (tidak telat), yang petani butuhkan adalah kepastian tanah itu. Sehingga tidak secara tiba-tiba terjadi penggusuran tanah demi pembangunan nasional, untuk perekonomian, dan banyak dalih-dalih lainya. Maka apa bedanya dengan pemerintah kolonial yang mengembangkan kebijakan ekspansi perkebunan industri yang memaksa rakyat untuk menyerahkan tanahnya demi kepentingan tersebut. dan lucunya sertifikasi tanah yang pemerintah buat juga tidak berlaku, di atas kepentingan industri perekonomian.
Maka tidak salah dan heran jika konflik agrarian terus terjadi. Kebijakan yang dirasa tidak adil telah menuai banyak protes, yang tidak jarang berujung pada tindakan kekerasan. Dalam konflik tersebut reclaiming atau penguasaan dan pengambilan lahan kembali oleh banyak petani lakukan. Kebijakan kapitalistik di bidang pertanahan tidak dipungkiri telah melahirkan rasa ketidakadilan yang harus di tanggung rakyat selama bertahun-tahun. negara yang secara kontstitusi mengemban amanat untuk menyejahterakan dan memberikan keadilan kepada rakyat ternyata justru menggunakan otoritasnya untuk secara sengaja menjadikan sebagian kelompok orang menguasai sumber daya agrarian melebihi batas yang diperkenankan oleh undang-undang.
Tidakan pemerintah yang dengan sengaja tidak berpihak kepada warganya merupakan bentuk nyata dari tindakan kekerasan negara terhadap rakyatnya. Sejalan dengan pendapat Galtung yang dikutip oleh I Marsana Windu (1992:64) yang menyatakan bahwa penyalahgunaan sumberdaya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau monopoli segelintir orang maka, ada kekerasan dalam sistem tersebut. Karenanya keadaan ini telah menyebabkan tingkat aktualisasi masa rakyat berada di bawah tingkat aktualisasi masa yang menurut Galtung awal terjadinya sebuah kekerasan struktural yang dibuat oleh negara terhadap warga negaranya. Ketidakadilan struktural dimanapun akan selalu menjadi akar munculnya sebuah bentuk kekerasan.
Regenerasi Petani
Hatta pernah berkata, pemimpin sejati adalah pemimpin yang mampu menyiapkan penggantinya. Begitu pun para petani, ia memerlukan regenerasi. sudah menjadi rahasia umum bahwa para petani-petani kita di dominasi oleh para petani yang berpendidikan rendah, dalam menjalankan pertanian juga masih menggunakan cara-cara konvensional. Sehingga kata sejahtera masih jauh, dan yang dipaparkan oleh data BPS, NTP periode januari-oktober 2019, juga tidak salah. Dimana nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar usaha pertanian (NTUP) mencapai 102,29, tertinggi selama enam tahun terakhir. Namun data tersebut bukan berarti petani mengalami kesejahteraan, oleh karenanya banyak petani yang berharap anaknya supaya tidak seperti orang tuanya. Menjadi petani tidaklah mudah, selain ia mesti berjuang melawan tengkulak, para pengatur harga, ia juga mesti berjuang melawan pemerintah (dengan dalih pembangunan nasional).
Maka sebelum usaha pemerintah sia-sia menarik generasi milenial, dengan pengembangan SDM dan dengan kemajuan teknologi di bidang pertanian, maka perlu di buat undang-ndang pertanahan yang kompeten dan tidak karet, perlu ketegasan dengan UUPA. Masalah agrarian sampai sekarang masih belum selesai, dan dari kebanyakan kasus agraria yang selalu di rugikan adalah para petani.
Pendidikan juga ikut andil bagi generasi penerus bangsa. Sejak saya duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menegah atas sedikit guru yang menanyakan siapa yang memiliki cita-cita menjadi petani, oleh karenanya hampir tidak ada murid yang memiliki cita-cita menjadi petani. Kebanyakan guru akan bertanya siapa yang punya cita-cita menjadi Pilot, Dokter, Tentara, Polisi, Guru.
Jika sejak dini tidak ada sedikitpun ketertarikan atau berfikir untuk menjadi petani apakah akan ada yang namanya petani? saya pesimis dengan dengan regenerasi petani di masa mendatang. Tantangan petani tidaklah sederhana. Nabi kaum komunis pernah berkata dalam bukunya das kapital yang kurang lebih bunyinya sebagai berikut.
“Permulaan selalu sulit di dalam semua ilmu pengetahuan. Pemahaman tentang bab pertama, khususnya bagian yang berisi soal analisis tentang komoditas, akan muncul sebagai yang paling sulit.” (Marx 1990: 89) oleh karena hanya generasi yang bermental bajalah yang mampu. Ia akan berhadapan dengan sosial masyarakat, para kapitalis, pemerintah dan bahkan berhadapan dengan undang-undang.
Oleh Sahabat Tarno