
Oleh :Nur Khafidin ;Anggota PMII Rayon Syariah angkatan 2019
Masih hangat dengan suasana hari buruh, maju terus para pekerja keras yang gigih tidak mudah tumbang di eksploitasi seorang kapitalis, hanya seorang proletar yang tiap harinya memproduksi kebutuhan konsumen. Tulisan ini berangkat dari pengalaman penulis yang adalah seorang buruh di perusahaan bonafit pada awalnya hingga kemudian memilih mengejar pendidikan di perguruan tinggi.
Perjuangan menjadi seorang buruh mengalami hal yang tidak mengenakan seperti di botak plontos kepalanya, di didik militer selama 3 hari dan masih banyak lagi, tapi semua itu katanya untuk pendidikan mental, kedisiplinan dan seberapa patutnya kepada pimpinan.
Betapa kerasnya lika-liku perjalanan yang penulis alami ketika menjadi buruh kontrak. sistem kontrak tiap tahun adalah kekhawatiran seorang karyawan kontrak, yang bisa saja sewaktu-waktu bisa di putus hubungan kontrak seperti aturan pemerintah yang sedang di bahas sekarang terkait RUU cipta kerja pada pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003. jika itu terjadi maka tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya, bisa saja seorang pekerja di kontrak seumur hidup. Seperti yang teman-teman saya alami tiap tahun di jadikan buruh kontrak dan tidak adanya pengangkatan karyawan tetap.
Parahnya, di masa pandemi covid-19 pemerintah justru membahas secara gugup RUU cipta kerja seperti takut kehilangan para investor. Walaupun sudah ada keputusan dari Presiden untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja ini, bukan berarti angin segar telah berhembus, bisa jadi suatu saat nanti RUU ini disahkan. dilain sisi, bukan itu yang buruh inginkan, seperti yang dilansir dari laman kompas.com “Buruh Ingin RUU Cipta Kerja batal meski Klaster Ketenagakerjaan Ditunda”. Semoga pemerintah membatalkan atau merevisi Ruu cipta kerja sehingga bisa berdampak baik bagi masyarakat Indonesia.
Menjadi buruh yang muda, baru lulus sekolah merantau jauh dari keluarga. Pahit manis dalam bekerja. Ketika perayaan May Day begitu polosnya diri saya ketika disuruh berangkat di hari buruh dengan iming-iming upah setengah juta di hari itu, hanya untuk memasok produksi yang pimpinan inginkan dan memenuhi kebutuhan pasar, ibarat pemodal lebih mulia dari pekerjanya, sehingga pada waktu itu tidak tahu bahwa di hari buruh ada jaminan hukum bagi buruh untuk “dibebaskan dari kewajiban bekerja untuk merayakan hari kemenangannya” sebagaimana terumuskan dalam UU No.12/1948. Mungkin saya salah satu dari jutaan buruh yang mengalami ambivalensi hak buruh, bisa jadi hal ini dikarenakan tidak diperolehnya pendidikan-pendidikan dari serikat buruh tentang fungsi dan perjuangan. Padahal Tuntutan serikat buruh menjadi satu alat ukur keresahan masyarakat mengenai keadilan sosial.
Di sisi yang lain, ia adalah ekspresi keprihatinan serikat buruh akan beragam masalah ekonomi-sosial-politik kaum rendahan yang mesti diperjuangkan dalam kerangka dinamika sosial. Padahal ketika upah naik dan jam bekerja berkurang semua pekerja akan senang, itu semua tidak lepas dari perjuangan perlawanan seorang buruh, melihat kembali sejarah pembantaian perjuangan para buruh di Amerika Serikat yang mengalami penembakan oleh polisi kepada buruh sehingga ratusan orang tewas dan luka-luka, mereka mogok kerja demonstrasi besar-besaran untuk mencapai tuntutannya yang awalnya buruh harus bekerja 16-20 jam sehari diubah menjadi bekerja 8 jam kerja sehari, seperti normalnya bekerja pada saat ini.
Kesan positif seharusnya di miliki para buruh dan masyarakat, mengangkat buah-buah perjuangan serikat buruh bagi kesejahteraan masyarakat umum. Contoh yang jelas, adalah soal Tunjangan Hari Raya (THR). THR adalah buah perjuangan serikat Buruh dari 1950. Akhirnya diakui dalam aturan hukum pada 1960 sebagai hak ekonomi buruh, dan akhirnya diterima masyarakat sebagai kaidah sosial.THR kini telah menjadi hak seluruh kaum pekerja. Walau pun organisasi yang paling gigih mengusahakannya, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) , telah terkubur dalam lipatan sejarah, bahkan dibubarkan dan dilarang, karena dianggap sebagai bagian dari PKI. Perlu diketahui juga bahwa semua hal terkait THR sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Bekerja di perusahaan bonafit memang mendapatkan upah yang layak, tunjangan, dan kesehatan yang layak, tetapi di perusahaan yang besar itu tidak ada yang namanya cuti untuk karyawan kontrak adanya untuk karyawan tetap. Karyawan kontrak Bisa cuti itupun kalo orang tua kita meninggal. Di perusahaan bonafit dan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia ini pun masih ada hak karyawan yang belum terpenuhi. Apalagi dengan perusahaan kecil yang tidak bonafit sudah di pastikan banyak hak karyawan yang tidak terpenuhi. Contohnya saja nasib buruh di PT Alpen Food Industri (es krim aice) yang setiap hari memproduksi Es krim manis dan enak, tetapi di balik itu semua nasib buruhnya tak semanis es krimnya sehingga kasusnya masuk trending twitter di bulan lalu. Seperti beberapa media masa yang memberitakan bahwa perusahaan tersebut melakukan eksploitasi, pelanggaran hak-hak buruh seperti Misalnya, penurunan upah, kondisi kerja ibu hamil pada malam hari, kontaminasi lingkungan, mutasi pekerja terhadap anggota serikat, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Bisa di bayangkan bagaimana buruh mengalami hal seperti itu.
Buruh sebenarnya sudah melampaui batas-batas negara seperti yang dikatakan Sandra seorang penulis buku sejarah pergerakan buruh indonesia. Dia berpendapat “Begitulah maka penderitaan proletar timur di dalam hakekatnya setali tiga uang dengan kawan-kawannya proletar pada masa abad 18 atau 19, Kenyataan inipun juga diketahui oleh proletar di timur, Mereka ini mulai insyaf bahwa sebagai proletar sudah bukan lagi ia menganut kefahaman kebangsaan, tetapi kefahaman cita-cita yang menjadi sendi perjuangan, lebih-lebih ketika mereka mengenal 1 mei sebagai lambang kemenangan kaum proletar atas kaum kapitalis”
Sebenarnya 1 mei bukan peringatan hari buruh tetapi satu cara kaum buruh belum berhenti melawan bahwa kaum buruh ingin hidup yang layak memperjuangkan haknya seperti upah yang layak, tunjangan, cuti dll.