
Oleh : Dera
Berbicara santri bukanlah sesuatu yang asing ditelinga kita. Mendengar kata santripun pasti akan terbayang pria tampan dengan peci dan sarung ataupun wanita cantik dengan jilbab dan kitab yang didekap. Stop, tapi bukan perihal cantik atau tampan, sholeh atau sholehah yang akan penulis ulas dalam tulisan ini, melainkan Resolusi jihad seperti apa yang harus dilakukan santri di tengah dunia yang semakin tak karuan,meminjam istilah bapak Gunawan Budi Santoso “dunia edan-edanan”.
Perjuangan santri dalam mewujudkan kemerdekaan tidak boleh kita pandang sebelah mata. Berangkat dari tempat belajarnya, pesantren, kaum santri berjuang melawan imperealisme barat yang dibawa oleh kerajaan protestan belanda yang dulu juga mempunyai semangat menyebarkan agama (Gospel). Hal ini menjadikan santri tidak hanya berkutik dengan kitabnya didalam pondok pesantren melainkan juga mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan agar tidak kembali diduduki oleh orang-orang barat.
Pasca Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamasikan kemerdekaan, masih saja gangguandari tentara-tentara sekutu meghujani negeri Nusantara. Bertepatan tanggal 15 September 1945, tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) untuk melucuti tentara Jepang yang sudah kalah perang. Tentunya tidak hanya sekedar itu, tentara Inggris membawa misi titipan untukmengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai jajahan Hindia Belanda. Melihat hal ini, golongan ulama yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama mengambil sikap tegas untuk melawan kolonialisme yang mencoba merebut Indonesia kembali. Berdasar kepada amanat Rais Akbar Hasyim Asyari, untuk jihad menjaga dan mempertahankan tanah air, dalam rapat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dipimpin ketua besar KH Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fi Sabilillah”.Tepatnya tanggal 22 Oktober 1945, terjadilah perlawanan para ulama beserta santri melawan tentara kolonial dari berbagai daerah di Kota Surabaya. Perlawanan 22 Oktober inilah yang kemudian menjadi ruh perlawanan arek-arek Surabaya dalam melawan tentara sekutu pada tanggal 10 November 1945.
Dalam lintasan sejarahnya, peran ulama dan santri dalam melawan kolonialisme untuk mempertahankan kemerdekaan mulai dilupakan sejarah. Baik dalam literatur maupun pemaparan-pemaparan ahli sejarah. Maka dari itu, untuk mengenang jasa para ulama dan santri yang telah gigih berjuang, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya mendirikan “Monumen Resolusi Jihad Fi Sabilillah Nahdlatul Ulama” yang kemudian diresmikan tanggal 23 Oktober 2011 oleh ketua PBNU KH Said Aqil Siraj dan Rais Aam PBNU Dr. KH Sahal Mahfudh. Setelah berdiri Monumen ini setiap tanggal 22 Oktober warga sekitar melakukan berbagai macam acara untuk mengenang para Ulama dan Santri. Hingga kemudian, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional melalui Keppres No. 22 Tahun 2015.
Stop. Kita tidak akan berlama-lama dalam membahas sejarah hari santri. Resolusi jihad yang kemudian memunculkan peringatan hari santri tampaknya telah membuat kita tertegun dengan dahi mengkerut karena gaya bahasa yang sangat ruwet dan tidak menyenangkan. Lanjut saja kita kebagian bagaiamana dengan jihad santri masa kini?
Resolusi Jihad Masa Kini
Peringatan hari santri tanggal 22 Oktober yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo tiga tahun silam menjadi momentum yang amat ditunggu oleh kaum santri nusantara. Bukan sekedar acara ceremonial belaka, peringatan ini sebagai wujud rasa hormat sekaligus penghargaan terhadap perjuangan kaum santri dalam mewujudakan kemedekaan. Resolusi jihad yang di suarakan KH Hasyim Asy’ari pada masa perjuangan kemerdekaan nampaknya perlu kita ingat dan kita teguhkan kembali. Peringatan hari santri bukanlah sekedar euforia. Sembari kita mengingat, perlu kiranya untuk meneguhkan hati bahwa perjuangan kaum santri tak hanya terhenti pasca kemerdekaan. Perlu kita memaknai Resolusi Jihad kedalam konteks dunia saat ini. Dunia yang semakin berlari, masyarakat yang semakin apatis dan oportunis serta agama yang dijadikan komoditas politik terlepas dari hal penting yang terkandung didalmnya, makna spritualitas.
Kita tidak boleh menafikkan bahwa kita sekarang berada di era digital yang penuh dengan ketidakpastian. Berada dalam arus media sosial yang maya namun digandrungi oleh berjuta orang di berbagai belahan dunia. Disinilah pertama kita menempatkan makna “jihad” kaum santri, “Jihad melawan hoax di media massa”. Persebaran informasi, kajian dan bahkan pendidikan keagamaanpun dilakukan di media massa. Sebagai santri yang cerdas, bukan lagi saatnya menerima dengan mata tertutup semua informasi yang disajikan. Menerima dengan sikap kritis perlu kiranya untuk kita lakukan. Menggunakan pola pikir tokoh kenamaan, Antonio Gramsci, Persebaran yang begitu cepat dengan informasi yang kurang tepat, perlu kita hadapi dengan “counter hegemoni”. Imbangi arus persebaran informasi hoax dengan informasi yang lebih aktual.hegemoni media perlu dipahami sebagai suatu kondisi dominasi yang dimiliki oleh individu-individu di belakang media massa berkenaan dengan cara hidup dan cara pikir tertentu. Cara pikir dan hidup ini kemudian disebarkan ke masyarakat melalui penggunaan media, informasi yang disebarkan tentu adalah informasi yang benar-benar valid.
Jihad yang kedua adalah “Jihad melawan nafsu untuk nyinyir tidak penting di media sosial”. Budaya nyiyir tampaknya menjadi trend baru generasi masa kini. Jari-jemari seakan gatal ketika tidak menuliskan kata-kata dikolom komentar.Berbicara tentang hal tidak penting di media sosial, menggunjing ataupun mengolok-ngolok seseorang atau merupakan jihad berat yang perlu kita hadapi. Sebagai kaum santri yang telah dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan dan moral dan etika yang baik alangakah baiknya menggunakan akal pikirannya dengan sebaik mungkin. Berbicara tentang sesuatu yang bermanfaat dan menuliskan sesuatu yang bermanfaat, menuliskan kritik yang membangun dan memberikan saran yang bermanfaat pula. Nyinyir di media sosial tentu menimbulkan dampak negatif yang besar, bisa menimbulkan sakit hati orang lain, memunculkan informasi yang kurang tepat karena gurauan dikira fakta dan juga gunjingan-gunjingan yang tidak tertahankan.
Mungkin dua hal itu dulu yang penulis paparkan tentang jihad yang harus dilakukan santri masa kini. Dua hal tersebut nampaknya hal sepele yang biasa-biasa saja. Namun, perlu kita ketahui ketika dua hal tersebut tak terbendung arus persebarannya maka akan menjadi sesuatu yang fatal. Di era gonjang ganjing yang media berperan penting dalam kehidupan. Hoax dapat menimbulkan perpecahan dan kehancuran sebuah negara, meskipun belum ada negara yang pecah karena hoax, akan tetapi perseteruan antar warga negara karena salah informasi bisa menjadikannya fakta. Kemudian, nyiyir di media massa tentang sesuatu yang tidak penting apalagi berkaitan dengan hal-hal yang sangat sensitif semisal isu agama dan politik bisa menggiring opini (pandangan) publik. Bayangakan, jika setiap warga negara (baca:Netizen) melontarkan kata-kata nakalnya di media sosial yang itu bisa memicu kericuhan dan ternyata mudah sekali masyarakat terpengaruh maka, tidak lama lagi perang antara Pandawa dan Kurawa akan terjadi, begitu kiranya penulis mengandaikan.
Maka dari itu, perlu sekali santri sebagai kaum intelektual sudi untuk berjihad ringan dengan tidak menyebarkan hoax dan menuliskan sesuatu ynag bermanfaat. Terlihat ringan memang, tapi dampak yang besar akan kita rasakan.
*Penulis Adalah kader aktif PMII Rayon Syariah, Anggota eLKAP. Aktivis Gender dan aktif di LPM Justisia.*