
Oleh: M. Luthfi Nanang S
Pada tanggal 17 April 2021, umur PMII genap 61 tahun. Ibarat manusia, usia tersebut sudah matang dan cukup umur. Maka, riwayat sejarah, andil dan kontribusinya tidak bisa dianggap sebagai suatu hal yang biasa lalu sirna hanya karena sudah tua, namun wajib—bagi anggota PMII, terlebih kader mujahid—untuk meneruskan dan melestarikan sejarah perjuangan dan pergerakan organasasi sakral ini.
Jika PMII lahir sebagai bentuk reaksi atas carut marutnya iklim politik Indonesia; hegemoni, penindasan, distorsi dan disorientasi penggiringan massa, maka apakah semangat gerakan pembebasan dan menuju kesejahteraan itu masih relevan bagi zaman sekarang—dengan dinamika persoalan dan problematika kehidupan lebih komplek dan majemuk.
Pendekatan historis secara garis besar menyatakan bahwa keberangkatan semangat pembebasan pada zaman dahulu (orde lama dan orde baru) berbeda dengan semangat pembaharuan pada zaman sekarang (pasca reformasi). Latar belakang, studi historical dan setting penyebab konflik signifikan berbeda. Zaman orba misalnya, musuh kita—mahasiswa, aktivis, LSM—kentara di depan mata; melawan kediktatoran rezim, negara dan kroninya.
Berbeda sekali dengan zaman sekarang yang terkadang satu isu muncul di permukaan berangkat dari hulu yang beragam. Keterikatan keterkaitan isu satu dengan lainnya menjadi fokus utama kajian dan analisis sosial. Fenomena itu diperbulat semenjak nasib teknologi dan informasi mendapat sambutan hangat dan laku laris di pasar. Dan ini lah titik balik perubahan etika dan kultur masyarakat Indonesia.
Eklektisisme Paradigma PMII
Dalam tubuh PMII, terdapat beberapa mazhab paradigma dengan corak dan konsepsi yang berbeda. Timbul dan berkembangnya pun sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat itu.
Pertama, paradigma menggiring arus balik masyarakat pinggiran. Datang sebagai reaksi atas perlakuan orde lama yang menempatkan masyarakat pinggiran sebagai kaum marjinal-transendental. PMII hadir menjawab persoalan itu dengan jalan tengah konsep dan nilai yang menjunjung tinggi kesejahteraan kaum mustadh’afin.
Kedua, paradigma kritis-transformatif. Hampir sama dengan latar belakang munculnya paradigma pertama, hanya saja fokus paradigma ini lebih kepada keberingasan dan kebrutalan orde baru menindas dan mengeksploitasi hak-hak pribumi.
Ketiga, paradigma menggiring arus berbasis realitas. Paradigma ini lahir tidak jauh atau bahkan bersamaan dengan generasi kita. Dengan ‘melihat’ semakin komplek dan polarisasinya isu-isu yang muncul akhir ini–tidak lain karena pengaruh penggiringan kuasa media–maka, penguasan dan kemampuan memanage media dan wacana juga diperlukan, antisipasi dan memininalisir penyebaran berita dan isu yang serampang dan ngambang.
Teori hanya sebatas alam ide dan abstrak, maka implikasinya diperlukan usaha implementasi secara nyata. Fokusnya bukan perihal yang mana yang layak dan baik untuk diterapkan dan relevan atau defisit kelemahan surplus kelebihan, tetapi teori dan konsep yang menjadi substansi dari setiap paradigma perlu digarisbawahi dan dikaji lebih dalam.
Dalam dunia akademik, lumrahnya dikenal dengan istilah eklektisisme. Adalah paham atau aliran filsafat yang mengambil terbaik dari semua sistem. Bercermin dari konsepsi ‘eklek’ tersebut, premis—yang sudah terbukti, berhasil diterapkan dan mencapai tujuan yang dicitakan—yang mana terkandung pada setiap paradigma yang sudah disebutkan, diambil dan diakomodasi sedemikian baik untuk dikonsensuskan menjadi formulasi baru, relevan dan bersifat pembaharuan.
Implementasi dalam Realitas Sosial
Indonesia yang dikenal dengan trademark demokrasi, nampaknya bertransformasi menjadi ‘kepentingan sendiri.’ Puncaknya, beberapa waktu lalu banyak tagline bercuitkan ‘ReformasiDikorupsi.’ Realitanya tidak bisa dibantahkan, banyak kebijakan rezim adalah buah hasil dari pemikiran dan regulasi tunggangan kekuasaan dan kepentingan.
Paling menarik perhatian dan kajian; talik ulur pro-kontra pengesahan Ommibus Law. Omnibus Law, kitab himpunan yang berisikan beragam jenis dan bentuk hukum. Tidak main-main. Banyak dari pasal-pasal hukum yang termaktub dalam kitab himpunan itu terkesan merugikan kehidupan wong cilik.
Selain itu, pengesahan Omnibus Law terkesan tergesa dan menutup mata dan telinga mendengar masukan, korespodensi, dan pernyataan ruang publik. Mudahnya, Omnibus Law seperti sarapan pagi mereka, dimakan sendiri untuk kebutuhan pribadi serta enggan memberikan peluang pihak ketiga untuk mencicipinya.
PMII, dalam titik ini, memiliki banyak peluang dan peran untuk ikut serta menggiring publik, menyatukan persepsi, dan mengkonsensuskan kesepakatan dan tujuan yang sama. Selebihnya, gerakan kajian dan analisa wacana belum dianggap sempurna dan proporsional tanpa gerakan jalan yang sarat dengan jiwa pembebasan dan perjuangan.
Belum berhenti di situ, penggiringan massa lewat media juga ‘sangat’ dipertimbangkan dan perlu dipersiapkan dengan matang. Mengingat kuasa media adalah adalah medium yang sangat rentan dan berdampak signifikan. Maka, penguasaan media dengan penggiringan opini yang benar dan sesuai kenyataan adalah suatu keharusan.
Uraian di atas adalah sekian dari peran PMII dalam singgungannya dengan problematika masyarakat Indonesia yang sesuai kondisi dan iklim politik yang sedang tidak baik-baik saja. Masih banyak terobosan dan formula lebih baik dan laik dari apa yang sudah penulis utarakan dan sampaikan. Harapnya, daya juang PMII dengan semangat embrio pembaharuan dan pergerakan, sampai kapan pun, sangat dibutuhkan dan relevan hingga akhir zaman.
SALAM PERGERAKAN!
*Juara 2 lomba essai PMII Rayon Syariah dengan tema “Peran PMII di Tempat Pusaran Problematika Rakyat Indonesia”