Oleh : : Ali Masruri
Berawal dari sebuah pertanyaan apakah toleran itu ada batasanya? Menimbulkan pertanyaan lanjutan, sebatas mana toleran itu boleh dilakukan? Pertanyaan tersebut memancing kita untuk menggambarkan toleransi warga NU yang bersedia menjaga ibadah umat lain.
Apabila yang bertanya adalah orang awam jawabannya bisa saja sederhana, namun akan menimbulkan efek yang berbeda jika orang yang memiliki ilmu bertanya. Jawabannya bisa menjadi rumit dan panjang penjelasanya, terlebih jikalau mereka merupakan orang-orang yang bertanya dengan pandangan skeptis.
Teringat ketika guru agama mengajar dulu, beliau bercerita pada saat dia ditanya oleh seseorang tentang amalan orang NU. Mengapa orang NU ketika mengantar jenazah, mereka melafalkan dzikir, padahal hal itu tidak terdapat dalam Al-Quran maupun Hadist? Pertanyaan yang bertujuan untuk menyalahkan bukan untuk mencari tahu. Beiau menjawab dengan ballik bertanya. Lebih baik mana antara orang yang berjalan dan mulutnya diam dengan seseorang yang berjalan dan mulutnya berdzikir?
Islam bukan agama yang spaneng yang dapat menimbulkan rasa bosa untuk mengikuti ajarannya, melainkan agama yang menyenangkan. Seorang muslim merasakan kejenuhan ketika setiap hari yang yang dibaca selalu Al-Quran dan Hadist, harus ada improvisasi ketika tidak ada bacaan yang lain untuk umat muslim. Padahal sudah menjadi watak manusia, ia akan bosan apabila dihadapkan dengan sesuatu yang bersifat monoton.
Di dalam tradisi NU, warga Nahdliyyin memiliki banyak bacaan dalam ritual keberagamann. Tidak hanya Al-Quran dan Hadist seperti manaqib, tahlil, rawatib, dan dzikir-dzikir yang lain. Itu semua bukan berarti bermula dari sebuah kejenuhan belaka, melainkan di dasari dengan dalil-dalil nash yang keterangannya sudah diformulasikan oleh tokoh-tokoh agama setempat agar berakulturasi dengan agama.
Mereka-mereka yang tidak memahami betapa indah dan menyenangkannya Islam, pastinya akan terkesan kaku dan terlihat memberatkan. Islam bukanlah agama yang isinya melulu tentang shalat, zakat, puasa, dan haji walaupun hal itu merupakan inti dari Islam atau rukun Islam, akan tetapi lebih dari itu.
Plularisme Bukan Sebuah Kebetulan
Kita kembali pada masalah toleransi Banser jaga Gereja. Relitanya kita adalah orang Indonesia yang ditakdirkan beragama Islam, bukan orang Islam yang berada di Indonesia. Sedangkan kita tahu Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya plural. Indonesia lahir melalui proses yang tidak sebentar, yakni melawan penjajah yang dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia, baik muslim maupun non muslim.
Pluralisme di Indonesia bukan sebuah kebetulan, ini terbentuk atas dasar takdir dan memiliki banyak hikmah yang perlu digali dan dipelajari. Bukankah Allah menjadikan kita di dunia ini dengan dua jenis kelamin yang berbeda dan bermacam-macam suku dan kabilah supaya untuk saling mengenal satu sama lain.
Negara ini adalah bentuk rahmat dari Allah lewat perjuangan berat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, dan itu tertulis dalam pembukaan UUD 45. Oleh karenanya bukan sebuah kesalahan apabila kita harus menjaga keutuhan NKRI dengan cara menguatkan tali kesatuan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, baik yang beragama Islam maupun non Islam.
Dalam Al-Quran pada surat Al-Hajj dijelaskan bahwa seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah Orang yahudi, dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah, tetapi kenyataannya saat ini semua rumah agama, baik agama Islam atau non Islam tetap berdiri kokoh. Itu berarti Allah memang menolak orang-orang untuk saling menghancurkan.
Menjaga hubungan baik dengan sesama manusia di dunia juga merupakan bagian dari ajaran agama Islam, bukan malah menebar permusuhan. Islam datang dengan membawa rahmat bukan kebencian. Oleh karena itu jika ada orang yang menebar kebencian diantara agama-agama dengan mengatas namakan Islam perlu diragukan pemahamannya tentang Islam.
Jadi ketika Banser melakukan penjagaan terhadap gereja, itu bukan sebuah kekeliruan dan juga bukan sebuah keharusan. Menjaga gereja demi menjaga keutuhan negara itu sama dengan menjaga negara, dan menjaga negara merupakan salah satu bentuk dari hubbu al-wathon dan hubbu al-wathon adalah sebagian dari iman.