Oleh: M. Taufiqurrahman

Al ‘Ilmu billa amalin kasyajaratin bilaa tsamarin

( Ilmu tanpa amal laksana pohon yang tak berbuah )

Masalah utama kemanusiaan saat ini adalah kemiskinan, kebodohan, serta penindasan. Islam yang dianggap sebagai agama yang paripurna di mana isinya bukan hanya berisi aturan-aturan mengenai hubungan dengan Allah atau biasa kita sebut sebagai hablum minallah namun juga mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia lain serta hubungan manusia dengan alam yang sering kita sebut dalam PMII hablum minan nas dan hablum minal alam, di mana kita diharuskan untuk menuntaskan berbagai problem tersebut. Menghadapi realitas seperti ini islam memberikan dua pilihan menjadi candu seperti apa yang dikatakan Marx di mana nantinya melanggengkan sebuah status quo atau menjawabnya sehingga islam menjadi sebuah agama pembebasan, agama yang terus menggali dan mencari makna yang revolusioner serta konsisten membela  kaum yang kemah serta tertindas.

Banyak contoh konkret yang bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari, bagaiamana praktek beragama hanya sebatas ritual saja dan melupakan aspek sosial dari sebuah agama itu sendiri. Bagaimana para tokoh agama hanya sibuk mengutip ayat-ayat tentang kenikmatan surga serta kehidupan bahagia setelah mati nanti dimana hal ini hanyalah sebuah ilusi dan aharapan palsu yang menyelubungi penindasan yang ada.

Berbicara mengenai teologi pembebasan sendiri memang terasa problematik bahkan sering dianggap menyebarkan pemikiran subversif. Persepsi ini sendiri disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya sebuah kesalahpahaman mengenai terminologi teologi pembebasan itu sendiri. Kedua, karena teologi pembebasan merupakan sebuah terminologi yang lahir dari tradisi kristiani yang tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan Islam. Ketiga, teologi pembebasan sendiri sedikit banyaknya diinspirasikan oleh ideologi kiri marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap cacat. Dalam islam sendiri terkait teologi pembebasan secara substansial amat dekat dengan gagasan teologi kiri dari Hasan Hanafi dimana dalam hal ini bersusaha mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari sebuah situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan sebuah kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu, saya rasa teologi pembebasan tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang disebut bebas semaunya. Lantas jika dikorelasikan dengan sikap beragam yang dimiliki oleh PMII bagaimana?

Wacana Islam sebagai sebuah teologi pembebasan pada masa 1990an menjadi sebuah bahan dialektis dan reflektif dalam mencetuskan paradigma arus balik pinggiran, di mana hal ini digunakan sebagai analisis dan sebuah strategi gerakan dalam mebela kaum mustad’afin serta sebagai sebuah alat kritik terhadap pemerintahan. PMII sebagai basis gerakan mahasiswa yang menjunjung tinggi asas intelektual religius dan juga nasional haruslah mampu mengilhami berbagai macam pemikiran kritis sebagai bahan untuk menstrukturisasi gerakannya sesuai dengan aswaja yang dianutnya. Menjadikan Islam sebagai suluh perubahan sosial dan alat perjuangan kelas haruslah menjadi sesuatu yang integral dalam tubuh PMII sendiri. PMII yang selalu berpegang teguh terhadap Aswaja harus mampu mengimplementasikannya dalam Gerakan yang nyata, di mana mampu menerapkan sikap tawazun dan tawasuth dalam pikiran, tasamuh dan ta’adul dalam tindakan sebagai upaya dalam penegakan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan teologi pembebasan. Dalam hal ini sendiri aswaja selalu menjadi sebuah ruh dalam setiap gerakan dalam tubuh PMII.

Aswaja yang dijadikan dasar gerakan PMII ini tentunya sejalan dengan visi islam bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi, mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindasan). Dalam artian ini PMII berpandangan dunia tauhid yang tidak saja meng-Esa-kan Tuhan melainkan juga untuk ‘melek sosial’ dan menjadi aktor sejarah, tokoh penting perubahan atau bahkan menjadi sang perubah itu sendiri, di mana PMII terus bergerak melakukan pembebasan terhadap kaum-kaum yang tertindas.

Semangat kritisisme dalam berdialektika serta peka terhadap realita sosial inilah yang diperlukan oleh kader PMII untuk menjawab segala bentuk tantantang zaman bukannya malah larut dalam arus zaman yang terus menghegemoni dan membekukan sehingga gerakan yang dimiliki oleh PMII menjadi tumpul bahkan terjebak dalam arus kekuasaan. Tanpa sadar jika para kader PMII terjebak dalam arus kekuasaan tentunya sudah tidak mampu lagi merasakan sindiran-sindiran Allah sebagaimana termaktub dalam ayat-ayat suci al Qur’an yang mempertanyakan eksistensi pemikiran dan kepekaannya. Afala ta’qilun, afala ta’lamun, serta afala-afala yang lain sampai pada afala ta’malun. Karenanya fungsi hakiki dari sebuah agama dalam konteks sosial inilah yang harus kita perjuangkan, di mana menjadikan sebuah ilmu bukan sebatas ilmiyah namun juga amaliyah.Untukmu satu tanah airku, untukmu satu keyakinanku