
Oleh : Muhammad Rizaldi (Anggota eLKAP PMII RASYA, Mahasiswa Jurusan HPI 2020)
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah. Soe hok gie (1942-1969).
Sehubung dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 tahun 2020 itu menyebutkan bahwasannya Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan,” demikian bunyi Pasal 4 ayat (6) PERMA tersebut.
Pernyataan dalam PERMA tersebut mengundang riuh masyarakat, banyak orang yang mendebatkan persoalan ini di media sosial. Ada beberapa yang mencoba mengambil sisi positif dari apa yang berusaha MA lakukan. Langkah ini disebut sebagai langkah preventif Pemerintah dalam meminimalisir beredarnya narasi hoaks yang sering dilakukan media-media yang tidak bertanggung jawab, serta menjaga privasi dari kedua belah pihak di dalam suatu persidangan, yang tengah bersengketa dan sudah seharusnya dijaga oleh orang-orang yang berprofesi hukum demi menjaga ketertiban serta efektivitas selama sidang berlangsung.
Berangkat dari pernyataan itu, kita harus sadar bahwasannya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah, khususnya pada para penegak hukum, akhir-akhir ini sedang luntur. Terlepas dari peristiwa-peristiwa sepekan terakhir. Dari kasus di atas, misalkan, bukan berarti tidak ada sisi negatif yang terjadi. Dalam pasal 28F UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak menerima informasi. Sampai sini bisa kita ambil kesimpulan bahwasannya keputusan tersebut sejatinya telah mencederai amanat UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusi bernegara kita.
Ke depannya, kepercayaan masyarakat kian hari akan semakin luntur. Akan banyak opini-opini negatif yang menghujani Pemerintah yang konsekuensinya berujung pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan Negara, terutama dalam ber-Demokrasi, seperti Pilwalkot/Pilbup, Pilkada, maupun Pilpres, jika persoalan krusial semacam keluarnya PERMA Nomor 5 tahun 2020, yang hakikatnya justru mengebiri demokrasi, malah diabaikan oleh Pemerintah.
Kita tahu bahwa Negara Demokrasi butuh yang namanya transaparansi guna menjaga pasrtisipasi masyarakat. Boleh saja peraturan ini diberlakukan, semisal, ada urgensi untuk kepentingan masyarakat luas. Boleh diterapkan, semisal masih tetap ada transparansi. Boleh dipergunakan, akan tetapi harus terus mengutamakan Demokrasi. Jika tidak, apa artinya?
Ruang persidangan adalah ruang keadilan. Jikalau ruangan itu dilarang dipublikasikan, maka sama saja dengan melarang mata publik untuk melihat proses keadilan tersebut. Maka tidak salah kalau semisalnya publik mempertanyakan ada masalah apa dengan ruangan itu? bukannya itu adalah sesuatu yg seharusnya diperlihatkan? Ruangan itu bukan lah kamar pribadi di mana tempat orang menyembunyikan kebobrokan.
Krina (2003:13) mendefinisikan transparansi sebagai prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil-hasil yang dicapai.
Beberapa orang mengutarakan pendapatnya, ia mengatakan, bahwasannya tidak apa-apa dengan tidak diperbolehkannya mengambil dokumentasi dari suatu persidangan guna mencapai efektivitas atas sidang tersebut. Lagipula, akan ada surat putusan yang bisa diakses melalui direktori MA. Jadi, masih ada aspek transparansi terpenuhi, menurutnya.
Sayangnya tidak semua orang bisa mengerti tentang persoalan yang dimuat di surat putusan. Mahasiswa hukum sekalipun masih banyak yang merasa kesulitan dalam memahami dan membaca surat putusan yang rumit bahasanya dan panjang tulisannya. Setidaknya, media massa lah yang membantu masyarakat awam memahami proses penegakan hukum dari suatu kasus lewat sajian tulisan yang sederhana dan mudah dicerna serta dipahami.
Bukan kah keluarnya PERMA itu sama saja dengan upaya pembungkaman? Pembungkaman atas asas keterbukaan atau transparansi yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan
Layakkah sebuah negara yang menganut sistem demokrasi membungkam mata publik dengan sewenang-wenang, apalagi, melalui undang-undang?