Oleh : Lembaga Studi Advokasi dan Gender (LASKAR) PMII Rayon Syariah

Angin pagi bertiup sopan melewati telingaku. Seakan berbisik, Kamu hebat, kamu berani, dan kamu kuat”. Kalimat-kalimat seperti itu, selalu aku dengungkan setiap pagi. Bagaimana tidak, pekerjaanku yang dipandang rendah dan tidak bermoral, serta stigma masyarakat yang menganggap pekerjaanku adalah sebuah hal yang tabu, menuntut aku untuk tetap kuat di depan banyak orang. Perkenalkan namaku Amerta, coba saja kalian cari namaku, pasti kalian temukan dan akan kalian ketahui apa pekerjaanku. Ya! Pekerja seks, adalah pekerjaanku. Sejak kecil, aku adalah yatim piatu karena kebakaran rumahku. Ibu dan bapakku tidak terselamatkan dan tersisa aku yang harus hidup meski tanpa saudara.

Sejak kejadian itulah, aku ditemukan oleh seorang lelaki berumur yang tanpa kuketahui, dia adalah seorang germo. Karena pekerjaan paman itulah, kehidupanku berakhir menjadi pekerja seks ketika usiaku delapan belas tahun. Masih cukup muda,bukan? Inilah hidup, kita tidak pernah tahu bagaimana takdir membawa kita.  Hidup adalah pilihan, meski aku tidak kuasa memilih kehidupanku sendiri. Jika ditarik mundur ke masa dimana aku berusia sepuluh tahun, aku lebih memiih menjadi pemulung dari pada pekerjaan ini. Bukan karena sibuk memikirkan stigma masyarakat atau memandang rendah pekerjaan ini, tapi karena pekerjaan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kuat dan berani. Sesekali, cibiran masyarakat terdengar sampai telingaku kala aku pulang ke rumah paman. Pelacu*, dan kalimat lainnya yang membuatku sudah sedikit kebal. Aku harus tetap hidup, meski rasa sakit karena sikap tetangga, dan sakit karena kekerasan yang sesekali kuterima.

Pagi itu, paman, Andre Wibowo keluar dari pintu kamarnya. Dia lah, seorang lelaki yang menyelamatkanku pasca kebakaran rumahku dan seorang germo di kotaku. Sebenarnya, dia adalah orang yang baik. Bahkan, selama aku hidup dengannya, tidak pernah sekalipun dia menyentuhku. Dia juga tidak pernah memaksaku melakukan pekerjaan itu, jika aku terlihat tidak enak badan atau lelah. Sesekali, ketika ada waktu luang bersama, dia akan duduk dan berbicara banyak hal. Seperti pagi hari ini, dia melarangku untuk ke tempat kerja yang tak jauh dari rumah.

“Amerta, bagaimana pandanganmu mengenai pekerjaan ini? Apakah mungkin cukup pantas untuk dikatakan pekerjaan?” tanya paman sesekali menghisap cerutunya. Pandanganku mengawang. Diumurku yang sudah menginjak dua puluh tahun satu bulan ini, aku memiliki pandangan lain tentang pekerjaan ini. Tentunya setelah ikut dengan paman, yang memilih menjadi germo karena terlilit hutang, dan harus memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Bagiku ini pekerjaan, Paman. Karena kita tidak punya banyak pilihan, karena kita terbatas. Jadi dengan alasan itu, menurutku cukup untuk membuatku dapat bertahan di titik ini. Kenapa Paman bertanya hal ini?” tanyaku.

“Seandainya semua manusia memiliki pemikiran yang sama denganmu, mengesampingkan moralitas, dan memenuhi hak sesama manusia, mungkin kehidupan ini akan jauh lebih baik, Merta. Maaf, Paman menyeretmu ke pekerjaan yang menurut orang tidak bermoral.” Jawaban paman membuatku berpikir. Seandainya jika setiap kegiatan tidak dibenturkan dengan agama dan moralitas, mungkin akan sedikit orang yang tetap berstigma tentang pekerjaan ini. Dua tahun menjajaki dunia pekerja seks, tidak banyak kutemukan orang-orang yang terbuka pikirannya, yang berpikir bahwa pekerja seks bukanlah pekerjaan rendah. Kebanyakan mereka selalu membenturkan adat, moralitas dan agama dalam hal ini.

“Paman, apa Merta masih ada kesempatan untuk berhenti?” tanyaku hati-hati. Ekor mataku melirik Paman yang telah membesarkanku. Kulihat dia tersenyum.

“Hutang Paman sudah lunas, Merta. Lusa kita pindah kota, memulai kehidupan baru disana. Kamu bisa kuliah atau bekerja sesuai keinginanmu, bagaimana?” pernyataan paman membuatku terkejut. Tapi, bagaimana bisa aku berhenti? Apa aku benar-benar bisa berhenti setelah dua tahun ini? Apakah lingkungan baru akan mengabaikan masa laluku. Banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku.

“Tidak semua orang memandang masa lalu kita, Merta. Besok Paman urus pindahan kita. Rumah disini kita jual saja, lalu kita mulai hidup yang lebih baik. Sebab, pekerja seks hanya untuk mereka yang tidak ada pilihan untuk mengatasi ekonomi, dan untuk mereka yang terjerumus karena beberapa hal. Rasanya, kita tidak memiliki alasan untuk menjadi pekerja seks. Karena hutang dan permasalah ekonomi sudah terselesaikan.” terang Paman. Sekarang, aku tidak pernah menyesal hidup seperti ini. Menjadi pekerja seks memang bukan pilihan, tapi menjadi pekerja seks adalah hal yang tidak bisa dilakukan semua orang. Teruntuk mereka yang merendahkan bagaimana kami bekerja, mereka tidak tahu bahwa kami memiliki impian besar untuk berhenti. Banyak yang mereka tidak ketahui bagaimana kami menahan kekerasan yang kami terima, menahan semua cibiran yang keluar dari setiap tetangga. Biarlah itu menjadi urusan kami.

“Paman, Merta ingin bekerja dan menjadi pegiat sosial. Bisa bantu carikan lembaga sosial yang bergerak di bidang ini? Merta ingin menceritakan dua tahun ini. Setidaknya, ada sedikit kepercayaan dari masyarakat bahwa pekerja seks bukanlah pilihan pertama, tapi menjadi pilihan terakhir kala kita tidak memiliki peluang untuk memilih.” Kataku. Paman tersenyum mendengar keinginanku. Lalu merangkulku.

“Akan Paman carikan. Sebagai germo, tentu Paman tahu lembaga sosial mana saja yang bergerak di bidang ini, Merta.” Jawabnya diakhiri dengan tawanya yang renyah. Sepertinya Ia sedang membanggakan diri karena menjadi germo di kota ini.

“Oh iya, Paman. Merta boleh mengganti panggilan untuk Paman? Rasanya, tidak pantas orang yang membesarkan dan mengajarkan kehidupan aku panggil Paman. Apa boleh, Merta memanggil Paman dengan sebutan Ayah?” tanyaku pada Paman. Dia hanya mengangguk, dan memelukku, erat. Bagiku, aku seperti baru saja menemukan pelukan seorang ayah, yang sudah lama sekali tidak aku rasakan.  

Jika ada yang bertanya, apakah aku menyesal? Kuperjelas lagi, bahwa aku tidak menyesal. Ini takdir yang membawaku mengenal kehidupan. Ada banyak manusia yang harus memilih menjadi pekerja seks demi memenuhi kebutuhannya. Bagiku, yang jelas pekerja seks seharusnya tetap memiliki tempat di kehidupan masyarakat. Tentunya tidak membenturkan antara adat, moralitas, agama dan pekerjaan. Menurutku lebih baik jika kita saling memahami. Alih-alih mendiskriminasi, bagaimana jika kita lebih memilih menjamin hak pekerja seks? Hak agar tidak ada kekerasan dalam pekerjaannya dan pelanggaran hak asasi manusia yang lain. Dari ini, aku menemukan sosok ayah yang sudah lama tidak kurasakan, dari kebakaran sepuluh tahun lalu, sampai aku menjadi pekerja seks dan berakhir aku meminta Paman menjadi ayah sambungku.