Aminatun R.S*

Belakangan ini, isu-isu keagamaan menjadi sangat sensitif untuk dibahas. Seolah sekat antar agama kian menebal dan memberi batas ruang untuk berbaur antar pemeluk agama. Berawal dari insiden Ahok di Kepulauan Seribu bulan Oktober lalu, kemudian berlanjut dengan aksi damai pada 4 November dan 2 Desember. Masalah keagamaan semakin meruncing disusul dengan kesalahpahaman dalam menyikapi fatwa terbaru MUI No. 56 Tahun 2016 oleh beberapa pihak yang terjadi beberapa hari yang lalu.

Fatwa MUI yang baru-baru ini dikeluarkan terdiri atas tujuh poin. Salah satu yang disebutkan adalah “Hukum Menggunakan Atribut Non-Muslim”. Disusul dengan penyolisasian fatwa oleh MUI bekerjasama dengan pihak Kepolisian. Bahkan salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam berinisiatif melakukan penyisiran terhadap sejumlah pusat perbelanjaan dengan menjadikan fatwa ini sebagai dasar tindakan.

Perlu diketahui bahwa tujuan utama dibentuknya MUI adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkualitas dan negara yang aman, damai, adil dan makmur. Dengan beberapa peran dan fungsi yang dimiliki MUI dalam mencapai tujuannya, fatwa merupakan salah satu produk hukum MUI yang ditujukan bagi masyarakat dan pemerintah. Hal inilah yang perlu digarisbawahi bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang menaungi masyarakat haruslah menciptakan kemashlahatan umat secara menyeluruh, karena bagian dari negara Indonesia tidak hanya Islam saja.

Berangkat dari aksi anarkis Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan penyisiran atribut Non-Muslim, di samping pernah dikeluarkannya fatwa mengenai haramnya aliran Ahmadiyah pada 2011 lalu yang menimbulkan kebencian masyarakat terhadap aliran ini, muncul suatu pertanyaan. Apakah fatwa, sebagai produk dari misi MUI, sudah sesuai dengan salah satu visi utamanya, yaitu menciptakan negara yang adil?

Di sinilah teori keadilan Aristoteles berlaku. Bahwa keadilan merupakan kelayakan dalam tindakan manusia terhadap dua benda atau orang dengan sama secara ukuran. Jika tidak sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap proporsi, dan inilah yang dinamakan ketidakadilan. Dalam hal ini ketidakadilan maupun diskriminasi bukan dilakukan MUI secara langsung, melainkan masyarakat sebagai bentuk side effect yang harusnya ditanggulangi dengan cara yang tepat. Oleh karena itu, sekiranya MUI dapat mempertimbangkan beberapa hal sebelum mengeluarkan fatwa.

Di antaranya yaitu penghimbauan secara intern terhadap ormas-ormas Islam sebelum disosialisasikan kepada masyarakat luas. Hal ini sangat diperlukan guna mencegah terjadinya kesalahan dalam bertindak sebagaimana yang dilakukan FPI beberapa waktu lalu, yang mana membuat MUI, pemerintah dan aparat keamanan negara harus kembali mengoreksi pernyataan terkait fatwa ini bahwa yang diperkenankan memberlakukan penertiban adalah aparat negara dan bukan ormas. Tentu itu bukan sesuatu yang efektif untuk dilakukan, mengingat pemberitaan mengenai inisiatif penyisiran ini telah menyebarluas dan menimbulkan beberapa perspektif dalam pikiran masyarakat, sudahkah fatwa ini masih menjunjung tinggi toleransi ataukah belum.

Mengingat sensitifnya persoalan agama dan toleransi di negara ini, MUI dan pemerintah harus selalu siap untuk bergerak dalam menanggapi isu yang muncul sebagai konsekuensi munculnya fatwa-fatwa tersebut. Karena tujuan dikeluarkannya Fatwa MUI ini adalah untuk kemashlahatan umat, maka harusnya kemashlahatan inilah sesuatu yang mendapat perhatian publik dengan baik, bukan justru efek samping yang dirasa jauh dari tujuan MUI itu sendiri.

 

*Direktur Pengembangan Bahasa Suara Mazhab Ngaliyan