
Oleh : Jiwo Prasojo
Mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam, Anggota PMII Rayon Syariah dan Santri Ponpes Darussyukur Ngaliyan
Runtuhnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada abad ketiga belas, merupakan awal kemunduran bagi peradaban Islam. Dinasti yang selalu dielu-elukan sebagai golden age Islam ini harus runtuh. Dinasti tersebut telah berkuasa dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu selama lebih dari lima abad (750-1258M). Pusat peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dinasti Abbasiyah, terletak di ibu kota yaitu di Baghdad. Puncak golden age terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-80M) dan puteranya al-Makmun (813-833M).
Golden age adalah fase dimulainya dinasti Abbasiyah memasuki babak baru, yaitu babak akhir dari runtuhnya kesultanan. Melemahnya dinasti disebabkan oleh munculnya berbagai pemberontakan dan gerakan separatisme dari kekuasaan pusat di berbagai wilayah. Selain itu, munculnya perdebatan intelektual yang menjurus kepada konflik politik. Serta banyaknya mazhab yang menentang pemerintahan juga membuat keemasan era dinasti itu meredup. Dikarenakan perbedaan mazhab inilah konflik terjadi di antara Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Akibatnya, terjadilah permusuhan rakyat yang menyebabkan timbulnya perselisihan hingga menyebabkan sesat menyesatkan dan kafir mengkafirkan di dalam furu’ syariat.
Ibnu Khaldun (1332-1406M) merupakan bapak sejarawan dan sosiolog Islam. Beliau hidup pada masa peradaban Islam yaitu Dinasti Abasiyah saat berada di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran ibu kota oleh pasukan Mongol pada tahun 1258M. Pastinya pemikiran Ibnu Khaldun memang tidak akan bisa terlepas dari kondisi Abbasiyah semasa hidupnya. Kondisi itulah yang menjadi dasar refleksi dari pemikirannya. Terutama teori ‘ashobiah dalam kitab terkenalnya yaitu al–Muqaddimah.
Peristiwa itu mengajak kita untuk memahami keadaan makhluk, bagaimana situasi dan kondisi manusia dalam perkembangan peradaban. Negara menurut Ibnu Khaldun itu seperti makhluk. Dia dapat lahir, mekar, menjadi tua dan akhirnya hancur. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa umur satu Negara itu adalah tiga generasi, setiap generasi berumur sekitar 40 tahun. Ibnu Khaldun telah memberikan kontribusi dalam wacana pengembangan peradaban dunia, khususnya Islam. Dalam teori ‘ashabiah tiga generasi tersebut adalah generasi pertama, hidup dalam keadaan primitif yang keras dan jauh dari kemewahan kota; generasi kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara; generasi ketiga, negara mengalami kehancuran dikarenakan generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut, dan kehilangan makna kehormatan.
Menurut Ibnu Khaldun dalam menjaga eksistensi kekuasaan, maka harus ada masyarakat. Secara konsep masyarakat juga harus didasari oleh semangat ‘ashabiah (solidaritas). Karena agar seluruh masyarakat dalam mendirikan kekuasaan mempunyai sebuah komitmen yang sama. Konsep ini bukan berarti ‘ashabiah terjadi karena pertalian darah, kesamaan nasib dan latar belakang. Konsep ini juga bisa terjadi karena adanya sebuah perjanjian.
Maka kondisi di atas sangat berbanding terbalik dengan negara Indonesia yang menganut sistem Republik. Di mana kekuasaan tertinggi terletak pada rakyat dan negara dijalankan berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara demokratis melalui pemilu. Pasalnya, pemilihan Presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Ini membuat kita sedikit sulit untuk menganalisa konsep ‘ashabiah pada negara berbentuk republik. Dikarenakan dalam pergantian pemimpinnya bisa jadi tidak memiliki sebuah komitmen yang sama dengan pendahulunya.
Jika melihat Indonesia secara kuantitas dengan teori ‘ashabiah, kita saat ini hidup di negara yang sudah berumur 75 tahun. Ini artinya kita sudah memasuki generasi kedua. Generasi yang berhasil mendirikan negara. Tetapi jika dilihat secara kualitas, mari berpikir bersama-sama. Jika Indonesia dilihat dari kualitas, berarti bahwa yang terpenting dari teori tersebut bukan berada pada kuantitas, akan tetapi pada kualitas. Meskipun Indonesia sudah hampir berumur tiga generasi secara teori ‘ashabiah. Tetapi secara kualitas, Indonesia ini masih pada generasi awal. Jadi umur Indonesia yang 75 tahun ini sama dengan umur ’ashabiah di empat puluh tahun ke bawah. Lalu bagaimana dengan kita anak bangsa yang hidup di tanah air ini menyikapi hal itu?
Menurut Ibnu Khaldun kalau sekiranya mau melihat masa depan sebuah negara, lihatlah anak-anak muda negara itu pada saat ini. Di Indonesia sendiri saat ini masih banyak sekali pemuda yang tidak sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka lebih asik bermain gim daripada mempelajari bagaimana gim itu bisa diciptakan. Itulah sebabnya kita sebagai generasi Kedua terasa seperti generasi pertama yang primitif dan keras. Berbeda jauh dengan Abbasiyah yang sudah meraih masa keemasaanya yaitu sepuluh tahun sebelum munculnya generasi kedua. Dikarenakan semangat belajar dan cinta ilmu pengetahuan itulah yang mengantarkan dinasti Abbasiyah mencapai puncak kemeemasannya sebelum memasuki generasi kedua. Maka tugas kita untuk Indonesia saat ini adalah tingkatkan semangat mencari ilmu pengetahuan agar menjadi masyarakat yang berkualitas. Sehingga nanti Indonesia bisa menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia.