Oleh : Tauhid*

 

Membahas agama tidak lepas dari sistem perdamaian yang dianutnya. Semua agama mengajarkan akan kedamaian dan toleransi terhadap sesama manusia. Tak ada agama yang mengajarkan kekerasan atau intoleran.

Membahas agama juga  membahas suatu paradoks. Dua wajah agama saling berhadapan,  satu sisi, agama menjadi jalan untuk cinta kasih, keselamatan dan juga perdamaian.  Sisi lain agama juga menjadi satu alasan atas perpecahan, intoleran dan modernasasi sebagaimana yang telah dicatatkan oleh sejarah.

Paradoks yang telah dianut dan mendarah daging oleh penganut agama  sebenarnya begitu indah, apabila masih bisa seimbang dan selaras denagan kehidupan. Akan tetapi, paradoks tersebut kini  lebih mengkrucut kepada sikap intoleran dan pengerusakan oleh mayoritas agamawan.

Agawaman yang seharusnya menjadi pilar dasar terciptanya perdamaian menjadi salah sikap dalam mengambil keputusan. Agama tidaklah salah, akan tetapi para penganutnya yang belum bisa bersikap plural dan belum bisa memahami tujuan beragama telah merusak hak- hak dasar dan moralitas tujuan agama, yaitu kebahagiaan bersama Tuhan, kebahagiaan berasama manusia dan juga kebahagian bersama alam.

Dari sanalah sikap beragama disalah artikan dan menjadikan penganutnya menjadi orang yang bususk dan korup terhadap agama. Sebagaimana diungkapkan oleh Kimball, bahwa ada lima hal yang menjadikan sebuah agama menjadi buruk.  

Pertama, bila suatu agama sudah mengklaim kebenaran agamanya  dengan maksud menjatuhkan agama lain dan melecehkannya. Tidak mau membenarkan atau menerima ajaran agama lain dengan sikap “i’m the honest people and the true people” tanpa ada rasa hormat untuk agama lain.

Kedua, agama bisa menjadi buruk karena ketaatan buta kepada pemimpin agama mereka. Dengan istilah lain, mendengarkan apa yang disampaikan oleh pemimpin agama mereka kemudian melaksanakannya  tanpa memikirkan efek suatu sikap yang diambil, baik untuk dirinya, agamanya dan orang lain. Sebagai contoh adalah gerakan Peoples Temple pimpinan Jim Jones (tahun 1970-an), Aum Shinrikyo oleh Ashara Shoko di Jepang (tahun 1990-an) dan gerakan David Koresh di Texas (tahun 1990-an). Yang dimana gerakan keagamaan tersebut menggurus para penganutnya untuk fanatic terhadap ajaran mereka dan menyalahkan ajaran lain.

Ketiga, agama menjadi buruk karena agama mulai gandrung merindukan zaman yang ideal, kemudian bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Para agamawan bertekad dan berusaha mengembalikan zaman kejayaan mereka terdahulu,  tanpa melihat kondisi zaman yang mereka alami, yang di mana seharusnya para agamawan berusaha mengembalikan kejayaan mereka dengan cara mengedepankan  kemaslahatan,  untuk dirinya dan orang lain, dan juga sikap toleran terhadap  agama lain.

Mengedepankan sikap toleran dan plural tersebut, suatu agama bisa berjaya tanpa harus menyakiti dan menjadikan agamanya buruk dimata agam lain sebagaimana yang diterapkan oleh Abasiyah pada masa kejaayaannya dalam bidang intelek dan edukasi Islam, yang mengedepankan ilmu dan sikap toleran. Namun oleh para penerusnya dirusak dan dijadikan batu loncatan untuk menusuk agama lain dengan sikap “agama kalian adalah murid yang tidak bisa berbuat apa- apa, “ dan oleh agama lain dijadikan senjata dengan perkataan ”murid harus lebih dari guru, tanpa melihat era, melainkan meliahat cara beragama”. Dan inilah yang menjadikan agama buruk, karena terlalu melebihkan kejayaannya tanpa ada realisasi sikap yang lebih baik dalam mengembalikannya.

Keempat, agama menjadi buruk apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “freedom on the way”. Dengan maksud bahwa, suatu agama membenarkan penyalah gunaan komponen keyakinan agama itu sendiri. Dalam sikap tersebut, agama mencari cara untuk menjadikan agamanyalah yang paling benar dan mencoba meyakinkan pemeluknya sebagai orang yang termulia.

Dari sinilah para pemeluk agama mencari cara yang mencerminkan kemuliaan mereka dan mulai memisahkan diri dengan sikap toleran. Sebagaia contoh,  agama Kristen yang di mana dalam perjuangannya berusaha membangun identitas diri dengan membangun komunitas Kristiani dan menjadi satu tujuan mutlak mereka. Mereka mulai memisahkan diri komunitas Yahudi dan menjadikannya sebagai sikap permusuhan untuk mencapai tujuan mereka. Alhasil terjadilah perang saudara dan juga permusuhan yang berkepanjangan, sebagaimana diceritakan dalam sejarah Nazi yang membantai kaum Yahudi setelah mereka membentuk komunitas yang dianggap solid untuk tujuan mereka.

Kelima, agama buruk karena sikap jahat dan tercerminnya korup oleh para pemeluk. Kembali lagi dari bahsan ini adalah, semua sikap jahat yang dilakukan terjadi karena adanya kepentingan pribadi, kelompok atau komunitas mereka. Dengan mengatas namakan agama, mereka sanggup mati- matian membela dan merubah visi dari agama itu sendiri. Agama pada dasarnya menjadikan para pemeluknya menjadi orang yang memiliki sikap takut kepada perjkara buruk, akan tetapi oleh pemeluk yang memiliki kepentingan dirubah begitu saja dengan perkataan “it’s about happiness”. Tujuan agama yang mulia dirusak untuk pencapaian kepuasan mereka sendiri, bukan untuk agama.

Dari semua  sikap yang menjadikan sutau agama buruk bisa dirubah dengan cara mengemblikan visi dari agama yaitu, damai dan saling menghormati. Siakap penganut harus dirubah agar tidak ada sikap intoleran terlebih lagi sikap saling terror antar pemeluk agama. Inilah keindahan dari agama, yaitu damai tanpa memandang bulu.

 

*Koordinator Sahabat Budaya Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo