
Oleh : Luthfi Nanang Setiawan
Mahasiswa urban sekaligus penikmat senja
Tumbuh dan berkembang menjadi pengabdi salah satu organisasi ekstra, mau nggak mau ya harus dan wajib tahu dengan sesepuhnya. Alih-alih biar feel-nya lebih terasa. Masak sudah terjun masuk, nggak tau seluk beluk. Nggak salah, cuma nggak etis saja. Sebagai junior yang baik, harusnya ya tahu siapa saja seniornya dengan laik.
PMII, salah satu ORMEK yang sudah lama berdiri. Selain lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman, juga menjadi wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahasiswa yang berlatar belakang Nahdliyyin. Terlebih, karakter mahasiswa yang kritis dan antusias dalam hal pergerakan dan perlawanan, maka tidak salah kalau butuh wadah dengan tujuan untuk mengakomodasi.
Pengorganisasian yang didasarkan pada satu tujuan, juga melihat berbagai realitas dan pertimbangan itu seakan menjelma menjadi organisasi yang melebur pada tradisi kultural dan spiritual. Pun tujuan PMII sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar (AD PMII) BAB IV pasal 4, “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”.
Demi memperjuangkan dan meneruskan cita utama serta fundamen besar para pendahulunya, banyak hal yang sudah diejawantahkan dengan lingkup dan cakupan lebih luas. Tersebutlah seperti PMII Rayon Syariah Komisariat Walisongo yang saban minggunya mengadakan Ndarus Buku; bedah buku plus diskusi mengenai pemikiran Soe Hok-gie.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Generasi penerus tak jauh beda dengan generasi pendahulunya. Tidak jauh beda dengan PMII, ketua umum pertamanya, Mahbub Djunaidi. Selain seorang aktivis, beliau juga giat dalam hal tulis menulis.
Pengalaman saya, setelah mengikuti serangkaian acara Mapaba, saat pertama kali sambang camp rayon PMII Syari’ah, langsung disuguhkan dengan jelas dan besar berupa pemandangan wajah Mahbub Djunaidi beserta quotes-nya.
“Tanamkan ke kepala anak-anakmu bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi” (Mahbub Djunaidi).
Itu lah kata beliau yang sampai sekarang masih saya ingat betul, tidak hanya sampai pada batas ingatan. Banyak dari sahabat-sahabat lain, yang dari kaos, totebag, hingga korek pun tidak lepas dari wajah dan beragam quotes beliau.
Begitu sekali dua kali saya searching dan sempat membaca pemikiran dan tulisan beliau. Selain karena kepo dan tertarik hanya karena salah satu celetukan beliau. Akhirnya dapat saya kerucutkan kalau seorang Mahbub Djunaidi tidak terbatas pada ketua umum pertama PMII, beliau seorang wartawan, sastrawan, agamawan, kolumnis, politikus, serta predikat baik lainnya yang disemangatkan di pundaknya.
Lebih dari lima puluh artikel lebih, melalui rubrik di Kompas ataupun di harian Duta Masyarakat, Mahbub menyajikan beragama tulisan yang satire tetapi humoris. Kritik-kritik sosial dalam tulisannya begitu tajam, begitu dalam. Bahkan, saking piawainya dalam hal kepenulisan, ia dijuluki dengan ‘Pendekar Pena.’ Sukarno juga mengakuinya
Ternyata, fokus Mahbub dalam hal literasi sudah tumbuh sejak pendidikan menengah pertama. Cerpennya berjudul ‘Tanah Mati’ dipublikasikan oleh Kisah, sebuah majalah kumpulan cerita pendek bermutu, disertai komentar dan penilaian pengelolanya, HB Jassin, sang legendaris paus sastra Indonesia.
Selain fokus dalam kajian kesusastraan, Mahbub juga dikenal sebagai orang yang getol membela hak orang-orang cilik. Bahkan, ia berteman akrab dengan anak-anak pedagang asongan dan para pengemis cilik di persimpangan-persimpangan jalan. Lantaran sikap yang sudah ditanam pada dirinya dalam dalam, bahwa semua orang tak ada bedanya. Tidak ada kelas strata sosial. Tidak ada orang yang bermartabat lebih tinggi atau rendah, hanya karena jabatan atau pekerjaan.
Mahbub juga pernah memimpin sejumlah media massa, menulis dan menerjemahkan puluhan buku. Sebagai seorang wartawan, ia dikenal sebagai wartawan yang gigih, pekerja keras serta konsisten sejauh mungkin memelihara kewartawanan yang diatribusikan sebagai profesi independen dan mandiri. Profesionalitas, proporsionalitas juga integritas.
“…Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa mengingat hatiku bukan hal-hal yang berlebihan.” Tulis Mahbub dalam surat terakhirnya kepada istri dan anak-anaknya.
Indonesia, mahasiswa, khusunya mereka yang terafilisiasi dengan organisasi ektsra PMII, mestinya merasa bangga dan bahagia punya publik figur seperti beliau. Seorang yang jarang bisa kita jumpai pada zaman sekarang. Dengan latar belakang begitu hebatnya dan multitalenta, tidak ada satu pun yang mampu menyamai sekalibernya. Al-fatihah buat beliau.