sumber foto: youtube.com
sumber foto: youtube.com
Oleh : Ach. Khalilurrahman
(Pengurus PMII Guluk-Guluk Sumenep)

Industrialisasi kian bergerak dengan cepat. Lajunya semakin kencang dan liar hingga seakan-akan kita tak mampu mengejar dan menghentikannya. Belum lagi, pemerintah telah menggelar karpet merah berupa kebijakan dan perundang-undangan yang justru menguntungkan para pemilik modal. Maka tak dapat dipungkiri bila pembangunan dan pengembangan industri arahnya kian tak menetu dan sulit ditebak. Siapa sangka Madura yang dulu tampak tak menarik, kini sudah banyak investor yang melirik.

Bila dilihat dari segi geografis dan kondisi sosial masyarakatnya, kita mungkin tak menyangka Madura akan menarik perhatian pemilik modal. Tanahnya banyak mengandung kapur dan tandus sehingga hasil panennya tidak begitu melimpah. Infrastrukturnya juga belum memadai seperti halnya kota-kota di Jawa. Bahkan orang-orang luar takut menginjakkan kakinya di Madura. Mereka beranggapan orang Madura bertemperamen kasar dan menyelesaikan urusannya dengan carok dan celurit.

Akan tetapi, tampilan luar belum tentu mencerminkan kondisi yang ada di dalam. Kaidah inilah yang dijadikan pedoman bagi kaum konglomerat untuk terus memperlebar sayap usahanya hingga ke Pulau Madura. Mereka telah mencium adanya potensi besar yang terkandung di bumi Madura dan mencoba untuk menggalinya. Tentu saja mereka tak bisa “bertani di ladang orang”, langkah awal yang dilakukan adalah memiliki tanahnya terlebih dahulu.

Perlahan tapi pasti, satu-persatu tanah di pulau garam jatuh ke tangan para investor. Di Sumenep saja telah banyak lahan pertanian produktif beralih kepemilikan. Tak butuh waktu lama bagi mereka merayu penduduk pribumi melepas tanahnya. Penduduk juga tak perlu berpikir panjang menerima tawaran pembeli. Harga yang tinggi sudah cukup membikin air liur meleleh. Terbayang kebutuhan akan terlengkapi, hutang bakal terlunasi, serta bisa membeli berbagai barang mewah untuk menaikkan gengsi.

Untuk memuluskan niatnya, para pengusaha menjadikan usaha tambak udang sebagai kamuflase. Tapi bukan sesuatu yang mustahil bila suatu saat nanti di atas tanah-tanah itu akan dibangun pabrik, hotel, dan gedung-gedung mewah lainnya. Tahun 2016 lalu, sudah ada 14 desa dari 9 kecamatan yang tanahnya beralih ke tangan investor. Sekalipun pembangunan tambak itu tidak sesuai dengan Perda RTRW, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Instruksi presiden RI untuk mempermudah perizinan investasi guna menarik investor cukup menjadi legal standing atas sikap mereka.

Orang Madura memiliki pandangan yang mendalam mengenai persoalan agraria. Tanah bukan hanya sekedar “barang” atau “benda” biasa. Ia telah menjadi penghubung antara yang tampak dan yang samar, yang hidup dengan yang sudah mati. Hubungan manusia dengan lingkungan, manusia dengan kearifan lokal, bahkan dengan tuhan berlangsung melalui tanah.

Term tana sangkol (tanah warisan, Madura) bukan hanya soal perpindahan hak milik. Ini juga pertanda terjadinya peralihan tongkat estafet dari generasi tua kepada para pemuda. Hubungan penerima dan pemberi tanah bahkan tetap berlanjut sekalipun si pemberi telah meninggal. Sesepuh-sesepuh tak lupa mengirimkan fatihah dan doa kepada mereka yang tanahnya telah kita tinggali atau digarap bercocok tanam.

Sukses tidaknya suatu generasi juga bisa dilihat dari keberhasilannya mengolah tanah. Membiarkan tanah tak tergarap menjadi suatu aib tersendiri bagi kalangan masyarakat Madura. Menyia-nyiakan pemberian leluhur dapat mendatangkan tulah dari mereka. Penjualan tanah menjadi alternatif terakhir setelah gadai dan sewa. Menjualnyapun dilakukan diam-diam karena merasa malu bila kerabat yang lain mengetahui. Bahkan ada pula ungkapan “haram ajuwal tana sangkol” (haram menjual tanah warisan, red).

Namun fakta yang terjadi saat ini jauh berbeda. Seakan mendapat suatu komando masyarakat melepas tanahnya secara besar-besaran nyaris tanpa sisa. Lepasnya tanah pertanian ini ke tangan investor juga menandakan bakal tercerabutnya masyarakat petani dengan lingkungan sekitarnya. Gotong-royong menanam dan memanen tanaman tak akan lagi ditemukan. Lingkungan hidup juga akan rusak karena pemilik modal tak lagi mempertimbangkan secara matang sisi ekologis. Sebaliknya, mereka membangun bisnisnya hanya dalam kerangka untung-rugi terhadap perusahan yang dipimpin.

Yang tak kalah mengkhawatirkan pula adalah kelestarian dan nuansa lokalitas khas Sumenep. Bukan tidak mungkin, kehadiran orang-orang lintas penjuru akan membawa budayanya masing-masing yang lambat-laun akan menghapus citra Sumenep yang agamis. Tanah yang telah berpindah kepemilikan itu akan memudahkan pemilik barunya, dalam hal ini para investor asing, mendesain tanah yang telah dikasai seenak udelnya. Mereka hanya berpikir soal berapa keuntungan yang bakal diperoleh tanpa memperkirakan dampaknya terhadap masyarakat sekitar. Akhirnya, sebagaimana yang terjadi di kota-kota lain di Indonesia, penduduk asli akan menjadi warga kelas dua di daerahnya sendiri.

Keadaan ini tak boleh kita diamkan, organisasi besar seperti NU baik secara organisasi maupun perorangan melalui tokoh-tokohnya telah gencar melakukan sosialisasi pada para warganya perihal maslahat dan mafsadat penjualan tanah pertanian. Selain itu, beberapa tokoh juga membentuk badan atau lembaga guna melawan penjahat agraria. Beberapa organisasi yang lahir sebagai bentuk perlawanan adalah Komunitas Eman Na’Potoh (KEN) yang didirikan oleh Masmuni Mahatma, salah seorang pengurus GP Ansor, serta Barisan Ajaga Tana Ajaga Na’Potoh (BATAN) dengan Dardiri Zubairi sebagai inisiator dan penggeraknya.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Sumenep sebagai salah satu bagian dari masyarakat juga resah dengan kondisi agraria Madura yang kian terancam. Pengurus dari tingkat komisariat hingga cabang terus melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan tanah pertanian dari tangan investor. Gerakan ini juga diserukan melalui organisasi kampus yang mayoritas memang dikuasai aktivis PMII.

Di Guluk-Guluk misalnya, tema tentang pentingnya penyelamatan agraria telah menjadi pembahasan oleh para kader lintas angkatan. Diskusi berlangsung mulai dari yang berbentuk non-formal (diskusi mingguan tiap angkatan), bahkan di tingkat formal seperti Mapaba dan PKD. Melalui kadernya yang aktif di organisasi intra kampus, PMII Guluk-Guluk juga telah berhasil menerbitkan suatu majalah dengan tema “Investor Borong Tanah Sumenep; Penduduk Diancam, Ditakuti dan Ditipu”. Majalah ini mengulas secara akurat perihal praktik jual beli tanah pertanian yang mungkin belum diketahui banyak orang melalui media mainstream.

Bulan lalu, Pengurus Cabang juga menggelar aksi di depan kantor pemerintah kabupaten (pemkab) setempat. Aksi yang bertajuk Bela Akidah dan Sumenep Darurat Agraria itu bertujuan meminta ketegasan pemerintah terkait banyaknya lahan pertanian produktif yang telah berpindah kepemilikan. Tapi tampaknya, pemerintah seolah tutup telinga dengan aksi itu. Dua kali unjuk rasa digelar, demonstran hanya ditemui wakil bupati pada aksi kedua.

Kasus seperti ini, kemungkinan besar tak hanya terjadi di Sumenep. Tanah di Sumenep barangkali hanya noktah kecil dalam lembar agenda para neo-kolonialis itu. Tinggal menunggu waktu, tanah di daerah lain pelan-pelan akan atau bahkan sudah dikuasai inverstor. Maka, sebelum Indonesia terjual habis (sold out), maka perlu kiranya bila PMII yang lahir dan hidup bersama masyarakat kelas menengah ke bawah secara nasional merumuskan gerakan yang jitu melawan kejahatan penjahat agraria ini. Kami selaku kader akan setia mengawalnya demi PMII, Islam, Indonesia, dan anak cucu kita.