
Oleh: Desy Nur Lutfiatul Maryam. Mahasiswi semester 2 Jurusan HPI.
Sejatinya hukum ada untuk menciptakan keadilan, namun dalam perjalanannya yang menghambat terlaksananya hukum untuk menciptakan keadilan seringkali justru terhalang oleh prosedur-prosedur yang bebelit.
Teks hukum sangat mudah tafsirnya dimainkan oleh manusia, tetapi secara tidak langsung seringkali merugikan makhluk hidup yang lain. Satipto Rahardjo mengungkapkan bahwa seluruh makhluk hidup mepunyai hak yang sama di mata hukum.
Seperti contohnya tumbuhan. Tumbuhan juga membutuhkan keadilan di mata hukum. Tumbuhan tidak bisa berbicara, maka dari itu ia membutuhkan perantara perlindungan melalui hukum.
Bagi kaum positivis, pemikiran hukum ini hanya menyentuh ranah sosiologis dan antropologis. Sedangkan Jika tumbuhan terus ditebang dan tidak ada lagi yang melindungi, kemungkinan besar dunia ini akan gundul dan tidak ada lagi penghijauan.
Hewan juga sama, ia membutuhkan keadilan. Para pemburu ini harus dibatasi oleh hukum agar dia tidak semena-mena memburu hewan yang dilindungi. Jika dia melanggar, harus mendapat hukuman yang setimpal dan menimbulkan efek jera. Sedangkan realitanya saat ini, pemburu yang sembrono dapat mudah bebas dari penjara. Akhirnya, hewan langka dan dilindungi seperti harimau bisa bebas diburu untuk diambil kulitnya, taringnya dijadikan koleksi, dan seringkali dijadikan sebagai hewan peliharaan pribadi.
Selain itu, hukum juga seharusnya memberikan keadilan bagi orang yang mengalami kecelakaan kerja dan berakibat cacat seumur hidup yang justru di dalam hukum sendiri boleh diceraikan oleh suami atau istrinya. Dalam perspektif kaum disabilitas, tentu ini perlakuan yang jauh dari kata keadilan. Sebab ia masih harus berjuang untuk menafkahi di tengah musibah ditinggalkan oleh suami atau istrinya.
Oleh karena itu hukum juga harusnya memberikan keadilan kepada semua. Baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.