Oleh : Muhammad Fajri Kholili Zain

Sudah 74 tahun kita merdeka, namun masih banyak saja masalah yang menimpa negeri ini, mulai dari korupsi, perseteruan para petinggi yang semakin lama semakin memanas, lihat saja saat ini seorang penyidik KPK yang terkena siaraman air keras malah hangat diperbincangkan oleh seorang anggota wakil rakyat yang dikatakannya bahwa penyiraman tersebut merupakan rekayasa belaka. Pantas saja masih banyak rakyat miskin yang kelaparan, masih banyak anak muda yang terluntang lantung di trotoar jalan tanpa mendapatkan pendidikan, dan masih banyak para lukusan uiversitas yang takkunjung mendapatkan pejerjaannya. Mungkin jika para pahlawan masih hidup, mereka pasti akan menangis dengan kondisi bangsa ini yang hanya memperdebatkan masalah sepele ketimbang berfikir maju untuk membuat Indonesia gemilang.

10 November merupakan hari dimana kita dapat mengintropeksi kondisi bangsa saat ini. Jangankan kita membahas tatanan negara yang terlalu luas. Kita mulai dari diri kita sendiri sebagai seorang pemuda, sudahkah kita dapat berdedikasi kepada pengembangan masyarakat ? sudahkah kita dapat berperan aktif sebagai agent of change ? sudahkah kita berbakti untuk mebantu kawan kita yang tak  berpendidikan ? pasti jawabannya tidak ! para pemuda saat ini lebih suka mutualan ketimbang bersosialisasi dengan rakyat jelata, pemuda sekarang lebih suka live IG ketimbang memberi penyuluhan kepada saudaranya yang hidup di trotoar. Ingatlah wahai pemuda bagaimana pahlawan kita berjuang agar penerusnya dapat mendapatkan pendidikan yang layak, agar penerusnya tidak usah berperang melawan penjajah dengan angkat senjata, agar penerusnya dapat hidup layak dengan mengonsumsi makanan yang bervitamin. Mereka rela dipenjara, disiksa, ditembak, diasingkan, demi para penerusnya.

Marilah kita menilik masa lampau dimana negara Ini belum merdeka. Perjuangan bangsa ini dimulai dengan adanya kesadaran nasional, kesadaran nasional ini merupakan benih-benih munculnya kebangkitan nasional pada tingkatan yang lebih lanjut. Kesadaran nasional ini menjorok kepada perasaan setiap individu yang menginginkan kehidupan bersama dan memperjuangkan haknya bersama karena persamaan nasib mereka yang dijajah dan ditindas oleh bangsa asing. Dengan munculnya kesadaran nasional lalu muncul banyak pemikir yang menginginkan bangsa imi merdeka secara utuh.

Setelah munculnya kesadaran nasional tersebut akan menimbulkan rasa kebangsaan dan terciptalah pergerakan secara menyeluruh dari rakyat Indonesia agar bisa merdeka. Pergerakan pada awal munculnya ini dipelopori oleh para pemuda yang tergabung dalam satu wadah yang bernama Budi Utomo. Budi Utomo ini merupakan organisasi yang muncul akibat kesadaran masyarakat pada saat itu terutama para pelajar hasil dari politik etis yang diterapkan oleh Belanda pada saat itu. Belanda telah salah dengan anggapannya bahwa produk hasil poitik etis ini akan berpihak pada Belanda dan bersekutu dengannya.

Budi Utomo merupakan sebuah organisasi modern pertama kali di Indonesia yang didirikan oleh dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang kemudian tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Organisasi ini berdiri akibat situasi sosial ekonomi di Jawa pada abad ke 19 semakin memburuk setelah berganti-ganti dilaksanakan eksploitasi kolonial dari cara tradisional sampai eksploitasi liberalisasi, politik ethis dan semakin derasnya westernisasi yang dilakukan pemerintah kolonial. Dalam bidang pendidikan seperti janji pemerintah tidak terpenuhi, karena banyak anak Indonesia yang belum dapat pendidikan dikarenakan kurangnya dana.[1]

Sesuai dengan alasan munculnya organisasi, pergerakannya dikhusukan kepda perbaikan kondisi bangsa yang meliputi perbaikan pendidikan dan perbaikan kondisi sosial. dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai lulusan sekolah dokter Jawa di Weltvreden (sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA) dan penggerak utama Budi Utomo menghimpun beasiswa agar dapat memberikan pendidikan modern cara Barat kepada golongan priyayi Jawa dengan mendirikan Studie Fonds atau Yayasan Beasiswa.

Selanjutnya muncul kembali Organisasi yang awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang beranggotakan para pedagang batik di Solo. Organisasi ini muncul sebagai bentuk perlawanan dominasi pedagang China dan sebagai bentuk kebangkitan perekonomian rakyat. Sarekat Dagang Islam mengalami kemajuan pesat karena dapat meng-akomodasi kepentingan rakyat biasa. Oleh sebab itu, organisasi ini menjadi lambang persatuan bagi masyarakat yang tidak suka dengan orang-orang Cina, pejabat-pejabat priyayi dan orang-orang Belanda. Di Solo, gerakan yang bercorak nasionalistis, demokratis, religius, dan ekonomis ini berdampak pada permusuhan antara rakyat biasa dengan kaum pedagang Cina, sehingga sering terjadi bentrok di antara mereka. Pemerintah Hindia Belanda semakin khawatir dengan gerakan yang bersifat radikal ini karena berpotensi menjadi gerakan melawan pemerintah. Hal ini menyebabkan Sarekat Dagang Islam pada tanggal 12 Agustus 1912 diskors oleh residen Surakarta dengan larangan untuk menerima anggota baru dan larangan mengadakan rapat. Karena tidak ada bukti untuk melakukan gerakan anti pemerintah maka tanggal 26 Agustus 1912 skors tersebut dicabut.[2]

Dari gambaran sekilas tentang pergerakan nasional sebagai salah ssatu betuk perjuangan bangsa ini dalam melawan penjajah dan memperbaiki kualitas bangsa dapat kita lihat bahwa penggerak utama pergerakan tersebut adalah para pemuda yang tergabung dalam wadah organisasi. Pada zaman milenial masih bisa dikatakan relevan bahwa pemuda adalah kunci kemajuan sebuah bangsa. Organisasi merupakan wadah yang seharusnya menjadi pendorong utama para pemuda dalam menyalurkan semangat pergerakan para pemuda agar tersalurkan secara rapi dan dapat pendapatkan esensi dari pergerakannya serta wadah untuk mencapai tujuan dalam memajukan bangsa ini. Ir Soekarno menyebutkan dalam bukunya Mebcapai Indonesia Merdeka bahwa kaum pergerakan-pergerakan di Indonesia adalah berbesar hati, bahwa semangat persatuan Indonesia sudah masuk kemana-mana, semangat itu sudah melekat di atas bibir tiap-tiap orang pergerakan Indonesia, mendalam kehati tiap-tiap orang Indonesia. Jadilah pemuda yang berorganisasi yang membangun bangsa yang berkeadilan, anti diskriminasi, dan berperadaban maju tanpa merupakan nilai luhur kultur budaya lokal sebagai identitasnya.