Oleh : Sidik Pramono
Gonjang-ganjing omnibus law yang terjadi hingga saat ini terus meresahkan berbagai kalangan. Ketidakjelasan aturan yang digadang-gadang bisa meringkas berbagai aturan menjadi satu hingga kini masih terasa absurd. Keterbukaan dalam pembuatan RUU ini merupakan hal yang halu bagi rakyat. Gelombang perlawanan terhadap aturan yang akan mencekik berbagai kalangan baik para buruh, mahasiswa (Calon Buruh), sampai sekarang masih mengalami fluktuasi.
Banyak pihak yang akan menjadi tumbal dan dirugikan. Sebelum diundangkan saja sudah menimbulkan kegegeran seperti yang terjadi di Bekasi, mengenai perlakuan yang tidak manusiawi oleh pabrik Aice. Pelanggaran yang dilakukan oleh Aice antara lain mempekerjakan buruh hamil hingga larut malam, gaji yang tidak diberikan, kondisi tempat yang tidak memadai, dan memonopoli pemeriksaan buruh pabrik di klinik dan dokter yang ditentukan oleh pabrik.
Hingga para buruh melakukan mogok kerja (mengutip dari press rilis Komite Solidaritas Perjuangan untuk Buruh Aice terbit pada 27 Februari 2020). Itu merupakan sekelumit pelanggaran yang dilakukan oleh kaum kapitalis sebelum disahkannya omnibus law.
Hal serupa (atau lebih parah) akan lebih mudah terjadi bila Omnibus Law resmi disahkan. Ini sangat beralasan karena, dengan adanya omnibus law, negeri yang dikenal sebagai negeri agraris ini akan menjadi negerinya kapitalis. Negeri zamrud khatulistiwa menjadi habitat bagi investasi yang menumbalkan keturunan ibu pertiwi.
Pemerintah yang seharusnya menjadi pamong bagi rakyat, berganti menjadi budak kapitalis dan menjadi imperialis baru yang tidak jauh beda dengan zaman kolonialisme. Pemimpin yang diharapkan menjadi Satria Piningit berubah menjadi Dasamuka.
Seakan mengikuti jejak yang penulis sebutkan barusan, mahasiswa serta organisasi yang menjadi wadahnya pun mulai berputar 180 derajat. Sewaktu penulis menjadi mahasiswa baru banyak didoktrin bahwa mahasiswa merupakan agent of control, tapi doktrin tersebut bak sebuah kapal yang ditenggelamkan oleh Susi Pudjiastuti saat menjadi menteri, Tak bersisaa!!!
Hingga saat ini, setelah lebih dari 1 bulan setengah isu omnibus law digulirkan, tak ada kejelasan standing position dari PMII dan tidak ada seruan untuk melakukan penolakan. Kurang jelas apa coba? Omnibus law yang nantinya akan menjadi karpet merah dari investor dan oligarki jelas bakal merenggut tumbal dari orang-orang kecil. Mengutip dari artikel yang ditulis Wahyu Eka Setyawan di berdikarionline.com, “kelas-kelas marjinal akan tereksklusi lebih parah, cita-cita dari demokrasi untuk kesejahteraan masif demi menuju keadilan sosial, akan tinggal kenangan bahkan hanya akan menjadi ilusi.”
Kurang gamblang apalagi? Saat masyarakat kecil, yang rentan mengalami penindasan sudah menunjukkan standing position untuk menolak, ini merupakan sebuah rangsangan yang harusnya cepat ditanggapi oleh PMII di berbagai tingkatan untuk sama-sama menolak. Standing position dengan bentuk penolakan yang diberikan PMII atau para kadernya akan menjadi bukti bahwa mahasiswa sebagai agent of change, agent of control tidak hanya menjadi seruan-seruan bullshit tanpa ada tindaka nyata.
Sudah saatnya PMII dan kadernya membuka mata dan mulai kembali berpihak pada kaum mustadlafin. Sudah cukup bagi PMII bermesra-mesraan dengan birokrat dan kembali pada khithoh memperjuangkan hak-hak kaum tertindas sekaligus menjadi kontrol pemerintah yang saat ini semakin ugal-ugalan disertai dengan menjadikan agama sebagai tameng berlindung.
Seperti pernyataan Farid Essack yang dikutip oleh Tedi Kholiluddin pada kelas Islamic Studies Justisia 28 Januari 2020, suara-suara orang tertindas merupakan suara-suara Tuhan, dan di sanalah (orang-orang tertindas) Wajah Tuhan berada. Dan perlu diingat, bahwasanya kita selaku mahasiswa yang dianggap tahu dan katanya menjadi agen-agen (yang penting bukan agen LPG) jangan terlalu naif serta menilai besar diri hingga turun membela bersama orang-orang tertindas menjadi seuatu yang kotor untuk dilakukan.
Pada akhirnya, yang menjadi grant question adalah, “Dimana standing position dari PMII dan para Kader-kadernya mengenai omnibus law?” Apakah memilih di barisan pendukung omnibus law yang artinya bersama dengan korporat, investor, kapitalis dan krooni-kroninya. Atau berada di barisan penolak omnibus law yang berarti bersama dengan orang-orang kecil, petani, buruh, nelayan, dan kaum mustadlafin yang merupakan suara-suara Tuhan bila mengacu pada pendapat Farid Essack.

Wallahu a’alam bisshowab