Oleh : IP
Dalam dunia politik alur ceritanya susah ditebak, jika hari ini lawan mungkin esok hari bisa menjadi kawan. Begitu juga pekan lalu kita disuguhi drama politik menyegarkan. Terlepas adegan itu rekayasa atau asli, memepertontonkna elit yang berangkulan, bukan adu pukul.
Adapun drama politik itu terbagi menjadi tiga sesi. Pertama adegan yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang merupakan pendukung dari pasangan petahana Jokowi-Ma’ruf Amin berangkulan dengan Preiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Imam pendukung setia dari kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Adegan kedua, ialah komentar dari Presiden Joko Widodo menanggapi adegan rangkulan Surya paloh bersama Shohibul Imam, yang kemudian mendapat komentar balik dari Surya paloh. Dan adegan ke tiga ialah berangkulan Joko Widodo dengan Surya paloh serta jabat tangan antara Joko Widodo dengan Shohibul Imam saat perayaan HUT partai Nasdem ke-8.
Mengutip dari kompas, 12/11/2019 dalam pidatonya Jokowi pun menegaskan bahwa budaya rangkul merupakan tradisi yang baik karena didasari niat untuk menjaga persatuan, kerukunan, serta menjalankan komitmen kenegaraan.
Di tengah polarisasi masyarakat setelah pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 serta 2019, pertunjukan politik itu menghadirkan suasana kedamaian. Di mana secara teoritis kombinasi sitem pemerintahan dengan susunan multipartai.
Dalam kontestasi politik biasanya terjadi sesuatu yang sebaliknya, hingga berakhir tragis. Para actor politik adalah tokoh yang berperan antagonis, bukan sebuah tokoh protagonis maupun tirtagonis, yang mampu menyatukan dan menjaga persatuan. Politik adalah ajang untuk memporakporandakan, bahkan bisa membinasahkan demi merebut sebuah kekuasaan. Manusia sering menikam manusia lain, demikian yang dideskripsikan oleh Plautus.
Kalaupun pertemanan tidak lain karena untuk kepentingan pragmatis belaka. Saat ini menjadi kawan, saat lain bisa menjadi lawan. Gaius Julius Caesar yang dikhianati dan sampai dibunuh oleh sahabatnya, Marcus Junius Brutus Caepio, merupakan cerita melegenda dalam dunia perpolitikan.
Arah Politik Jokowi
Jokowi adalah presiden terpilih yang mengemban amanat pemerintahan 2019-2024, dan sebagai presiden terpilih biasanya sulit dalam membangun koalisi sehingga dalam parlamen jarang mendapat dukungan politik mayoritas. Namun hal demikian dipatahkan dengan jelas oleh kubu pengusung Jokowi, dengan politik merangkul semuanya.
Pemilu 2019-2024 menunjukan bahwa Joko Widodo (Jokowi) mampu mengkonsolidasi kabinet. Mereka mampu menarik Partai Gerindra yang diberi jatah dua kursi di dalam Kabinet Indonesia Maju. Dengan masuknya Gerinda maka kekuatan politik Jokowi dalam parlamen sangata besar mencapai 74,98 persen atau hampir 75 persen. Menyisakan tiga parta sebagai oposisi, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera(PKS), dan Partai Demokrat dengan kekuatan sekitar 25, 74 persen (Kompas,Rabu13/11/2019).
Jika dilihat dari luar nampak kabinet 2019 sebagai hasil kompromi politik, dibanding sebagai kabinet kerja profesional (zakenkabinet). Sejarah akan mencatat di mana kursi kabinet sebanyak 50 terdiri dari 38 mentri serta pejabat setara mentri serta 12 wakil Menteri dari kelompok professional, partai pendukung, tim sukses, dan kelompok orang-orang dekat presiden. Perlu digarisbawahi ialah, di mana komposisi itu tidak bisa dikatakan ideal karena yang berada di kuris sebanyak 62 persen dari kalangan nonprofessional dan hanya 38 persen dari kalangan professional. Hal itu semakin mengukuhkan bahwa kabinet yang dibentuk, tidak lain hanya sebatas kabinet kompromi.
Koalisi pun terjadi dalam parlemen, yakni dengan masuknya Partai Gerindra dalam koalisi. Partai-partai pengusung Jokowi-Ma’ruf menempati posisi-posisi penting nan strategis di DPR, MPR, serta DPD. Dikuasainya empat unsur pimpinan DPR, empat ketua alat kelengkapan dewan (AKD) dan 14 wakil AKD, serta pimpinan MPR dan DPD. Maka jelas ini adalah sebuah politik sapu bersih dan patronase kekuasaan dalam rangka mengukuhkan kekuasaan politiknya. Dan jelas ini masuk indikasi bahwa pemilu 2019 mendorong terjadinya koalisi kartel yang tidak berdasar, selain kepentingan politik.
Kondisi kartel ini sangat kuat dimana kekuatan 74, 98 persen untuk kursi parlemen dan 25, 74 persen untuk partai-partai di luar pemerintahan (oposisi) bisa mendorong terjadinya tirani mayoritas. Salah satu dampak yang dapat kita lihat adalah kasus pengesahan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi undang-undang (UU). Sekalipun jutaan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam negara demokrasi, namun nyatanya suara itu tidak terdengar karena hampir semua kalangan politik berkata sama dan sepakat, baik di parlemen atau pemerintah.
Dalam negara demokrasi koalisi kartel sah-sah saja. Meski demikian ada bahaya yang mengancam di depan, jika koalisi tersebut berubah menjadi persekongkolan politik. Hal itu bisa saja terjadi manakala pemerintah dan DPR memiliki kesepakatan bersama yang bertentangan dengan kehendak rakyat dan dianggap mencederai kepentingan bersama. Dalam konteks demokrasi hasil yang dibuat oleh pemerintah dan DPR sah menurut undang-undang, tetapi belum tentu legitimate dan dipercaya oleh rakyat.
Mengaca dari pengalaman negara-negara tetangga, jika terjadi politik tanpa adanya oposisi maka bisa menyebabkan demokrasi yang tersandera. Institusi-institusi demokrasi dikoptasi oleh pemerintah dan tidak ada kekuatan lain yang menjadi penyeimbang untuk menyampaikan suara yang berbeda. Demokrasi yang demikian mirip dengan demokrasi gotong royong, di mana demokrasi tanpa adanya control dan pengawasan. Karena semua kelompok menjadi bagian dari demokrasi tersebut, sehingga menjadi sebuah kekuatan yang bersatu dalam sistem yang tercermin dalam orde baru.
Tentu itu bukan harapan dari kita, sebab reformasi yang telah kita perjuangkan akan kembali lagi ketangan pemerintah lewat model-model politik demikian. Kita masih ingat dengan kejadian banjir bandang kemarin sore, di mana publik mengalami Pendidikan literasi legislatif yang luar biasa. Media informasi dari luring maupun dering mengucurkan deras regulasi informasi Rancangan UU Pesantren, UU Pertanahan, UU Penghapusan Kekerasan Seksual, Revisi UU Perkawinan, UU KPK, UU Siber Kreasi, serta banyak lainya.
Parlemen yang dikritik, selama lima tahun tidak produktif menghasilkan legislasi sebagai bangunan dan tatanan hidup berbangsa dan bernegara, akhirnya dalam sebulan terakhir masa baktinya ia berusaha memenuhi tugasnya dalam menyelesaikan rancangan legislasi. Publik pun memprotes fakta bahwa sebagian rancangan dibuat tanpa kajian yang berimbang dan komprehensif, sehingga banyak pasal yang menimbulkan kontroversi.
Dalam negara demokrasi di mana yang membuat dan mengesahkan peraturan adalah DPR dan Pemerintah. Rakyat pun sadar dengan sendirinya bahwa apa yang dilakukan mereka tidak lain hanya sebatas pemenuhan Hasrat politik melalui mekanisme demokrasi semata. Para politik yang berada di parlemen tidak lain sebagai pekerja politik. Yang konon katanya berjuang untuk kepentingan rakyat, nyatanya justru bekerja untuk dirinya dan golong mereka.
Oleh karenanya polik model kartel bisa bermata dua, bisa jadi menjadi sistem presidensial-multipartai yang efisien dan efektif saat membuat kebijakan. Namun juga bisa menghasilkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan bersama dan menimbulkan kekecewaan pada khalayak luas.
Rakyat Merindukan Negarawan
Disaat negara sedang dalam kondisi pincang, politikus bekerja hanya memperhitungkan investasi dalam kampanye dan keuntungan yang akan mereka peroleh, oposisi dan pemerintah tidak terlihat jelas. Maka hanya sosok negarawanlah yang terlintas di dalam kesadaran kolektif kita.
Maksudnya gimana? Di saat seperti itu masyarakat mendambakan Bung Karno, yang mampu membangun visi negara yang berdaulat dan jaya, bersatu di tengah keberagaman bangsa. Rakyat mendambakan sosok Hatta, yang sama sekali tidak memikirkan ekonomi personal, selaras dengan gagasannya mengenai ekonomi yang adil sosial. Maka rakyat merindukan sosok Gus Dur pejuang demokrasi yang hakiki di atas prinsip kesetaraan warga negara. Rakyat merindukan Jendral besar yang sangat totalitas dalam memperjuangkan kemerdekaan, sekalipun ia mesti ditandu untuk merebut kemerdekaan itu.
Maka tidak salah jika rakyat rindu dengan ulama-ulama pencetus piagam Jakarta dalam BPUPKI demi tercapainya cita persatuan Indonesia.