Oleh: Adetya Pramandira


Tanah atau lahan merupakan hal ihwal yang harus dimiliki oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya. Mempunyai tanah sangat erat kaitanya dengan harga diri (nilai sosial), sumber pendapatan (nilai ekonomi), kekuasaan atau hak privilese (nilai politik) dan tentu tempat untuk bersujud memuja Sang Pencipta (nilai sakral budaya) (Nurhasan Ismail, 2005:2). Terenggutnya lahan atau tanah berarti juga kehilangan harga diri, kekuasaan dan juga sumber pendapatan.

Melihat begitu pentingnya tanah bagi setiap mahluk, dalam HAM generasi kedua PBB telah menyatakan bahwa lahan merupakan bagian dari hak asasi manusia, manusia berhak memperoleh lahan (perumahan), makanan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja.

Begitu pun dengan bangsa Indonesia, bangsa ini telah memberikan amanah kepada penguasa negara melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang pembagian sumber daya alam termasuk tanah didalamnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Diperkuat juga dengan Undang-undang No. 56 Tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria yang mengandung dasar sekaligus arah pembangunan hukum pertanahan dan sumber daya alam.

Undang-undang pokok agraria (UUPA) mengandung semangat penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk mendorong kemajuan bidang ekonomi yang penguasaannya tidak terlepas dari ketersediaan tanah. Kemajuan bidang ekonomi yang dimaksud dalam UUPA sebagai instrumen untuk menciptakan suatu perubahan adalah menata struktur kepemilikan tanah yang disatu sisi mendorong ke arah perubahan pertanian dan industri serta dilain sisi tidak mengabaikan keadilan dalam terciptanya pemerataan kepemilikan tanah.

Begitu meruaknya semangat para founding father dalam merumuskan hukum pertanahan untuk menghindari ketimpangan dan mewujudkan kesejahteraan. Belum juga dibarengi dengan semangat penerapan pada generasi-generasi sesudahnya. Amanah UUPA seakan beku dan tinggal peraturan yang dilegaklkan tanpa pelaksanaan. Hingga kemudian, banyak kita jumpai kasus-kasus perebutan lahan, penggusuran, penguasaan lahan yang timpang, kriminalisasi dan masih banyak lagi kasus-kasus penyelewengan. Menarik untuk kemudian kita lihat pergerakan politik hukum pertanahan dari masa ke masa yang jauh dari semangat UUPA.

Kebijakan Pertanahan masa Orde Lama dan Orde Baru

Pada masa orde lama melalui program Land Reform yang sudah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 56 Tahun 1960 Pemerintah telah mengupayakan pemerataan struktur tanah yang timpang dengan pengambil alihan tanah-tanah diluar batas maksimum serta tanah-tanah absentee untuk didistribusikan kepada rakyat yang kekuarangan tanah. Selain itu semangat koperasi sebagai wadah penguasaan tanah dalam skala luas sudah dimulai melalui Peraturan Menteri Agraria dan Pertanian No. 11 Tahun 1962 yang menetapkan kepemilikan saham dari perusahaan, yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu 50% tetap dimiliki oleh pendiri perusahaan, 25% diserahkan kepada karyawan dan 25% kepada masyarakat disekitar tempat beroperasinya perusahaan melalui pemerintah daerah (Nurhasan Ismail, 2005).

Namun sayangnya, tujuan yang sejalan dengan UUPA tersebut tersendat di tengah jalan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa sebab diantaranya, kurang kuatnya komitmen pemerintah untuk melaksanakan program land reform dan kepemilikan saham perusahaan. Hal ini dikarenakan pemerintah terlalu sibuk dengan politik konfrontatif sehingga tidak mampu melawan tuan tanah di tingkat pengembangan maupun pelaksanaannya. Selain itu, kebijakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah dengan menguasai tanah luas yang berlabel asing. Tanah ini kemudian tidak didistribusikan sebagai objek land reform melainkan ditempatkan dibawah penguasaan ABRI.

Kiranya, hal ini yang menimbulkan banyaknya kasus sengketa tanah antara rakyat dengan aparat penegak hukum.

Pun dengan masa Orde Baru, kebijakan pertanahan tak kunjung mendekati amanah UUPA. Perubahan ideologi pembangunan dari sosialisme ala Indonesia beranjak ke arah kapitalisme dan saudara kandungnya, liberalisasi dan swastanisasi berimplikasi kepada berbagai kebijakan yang sangat merugikan rakyat, utamanya mereka yang tidak punya modal yang memadai. Adanya kebebasan atas persaingan untuk memperoleh tanah atau lahan sebagai komoditas yang patut diperjualbelikan. Terbukti dengan tidak dikembangkannya kebijakan pembatasan tanah pekarangan yang menurut Undang-undang No. 56 Tahun 1960 harus diatur. Perusahan berbadan hukumpun bebas menentukan jumlah luasan lahan yang diinginkan meskipun didalamnya terkandung penguasaan spekulatif yang bertentangan dengan Pasal 6 UUPA.

Selain itu juga kebebasan memperjualbelikan tanah sebagai objek mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari tanah dengan mengabaikan fungsi sosial sebagaimana amanah Pasal 6 UUPA. Hal tersebut diperparah dengan munculnya Permennag No. 2 Tahun 1993 tentang perijinan lokasi yang kemudian diganti dengan Permennag No. 2 Tahun 1999 yang secara spesifik mengatur tentang kemudahan perijinan lokasi, fasilitas perpajakan, dan termasuk pembiaran hak tradisional masyarakat lokal atau hak ulayat masyarakat hukum adat. Disamping itu tidak adanya ganti rugi atas tanah yang dirampas oleh negara untuk kepentingan umum sebagai akibat dari ideologisasi pengorbanan oleh rakyat pemilik tanah untuk terwujudnya kepentingan negara terus ditancapkan dan dikembangakan.

Kebijakan Pertanahan Pasca Reformasi
Gerakan reformasi pelengseran Presiden Soeharto sebagai upaya perubahan bentuk negara yang semula otoriter menuju demokratis ternyata tidak jua merubah kebijakan agraria yang carut marut, kapitalistik dan liberal. Meskipun berbagai upaya gencar dilakukan untuk berusaha mengembalikan semangat UUPA namun, Badan Pertanahan Nasional tidak mampu melawan instansi sektoral yang cenderung kapitalistik.

Seperti kebikajan Kementrian Pertanaian yang ingin membuka lahan pertanian jutaan hektar, namun dalam pelakasanaan, penguasaan dan pemanfaatannya diberikan kepada perusahaan berskala besar dan tidak didistribusikan kepada rakyat. Ini merupakan bukti masih melanggengnya sistem penguasaan tanah pada masa Orde Baru. Kebijakan yang dikeluarkan pada masa ini pun masih tergolong pro terhadap perusahaan berskala besar dan abai terhadap rakyat kecil.

Hadirnya Pasal 21 Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan yang memberikan perlindungan terhadap penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh perusahan perkebunan berskala besar dari kemungkinan terjadinya tuntutan atau pendudukan tanah dengan cara kriminalisasi terhadap siapa saja yang melakukan gangguan. Disatu sisi Undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum serta jaminan kepada pengusaha yang telah mengantongi ijin dan Hak Guna Usaha (HGU). Namun dilain sisi, ketentuan ini dapat memberikan ancaman kepada masyarakat Adat yang atas dasar hak ulayatnya telah menempati tanah bertahun-tahun.

Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 6 Tahu 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah telah memberikan jalan kemungkinan diperolehnya peningkatan pendapatan pemerintah sebagai sumber pembiayaan pembangunan dengan memanfaatkan tanah diluar pelayanan publik yaitu sebagai kegiatan usaha. Hal ini yang melatarbelakangi persaingan rakyat dan pemerintah dalam mendapatkan akses berupa tanah. Pemerintah yang seharusnya menjadi fasilitator serta advokator justru menjadi rival warga negara dalam memperoleh tanah atau lahan.

Di tengah politik pertanahan yang serba kapitalistik, reforma agraria yang sesungguhnya dapat menjadi sarana untuk meningkatkan produksi pertanian dengan tetap menjunjung tinggi pemerataan pemilikan tanah. Reforma agraria yang digencarkan oleh sebagian golongan dianggap sebagai penghambat pengembangan usaha berskala besar, sehingga dalam perjalanannya reforma agraria berjalan tersengal-sengal.

Melihat uraian diatas dapat kita tarik benang merah bahwa penguasaan tanah yang timpang tidak hanya disebabkan oleh menjamurnya para pemodal besar yang mempunyai usaha berskala besar melainkan kebijakan pemerintah yang terlalu elastis sehingga mudah terjadi penyelewengan-penyelewengan.

Kemudahan perijinan dalam pendirian usaha dan undang-undang yang tumpang tindah turut menjadi faktor mudahnya pengambil alihan lahan. Dari waktu ke waktu dapat kita lihat bahwa hanya tinggal semangat untuk menghidupkan kembali UUPA, dalam penerapannya banyak terjadi kepincangan. Hingga kemudian perlu pengembangan hukum pertanahan progresif yang tidak bertentangan dengan hukum yang lain. Keselarasan antara visi pemerintah dengan visi Undang-undang yang telah ada dalam hal ini adalah UUPA perlu untuk terus dipadu-padankan sehingga dalam pembentukan dan penetapan Undang-undang berikutnya tidak terjadi ketimpangan.

Disamping itu pembangunan berbagai infrastruktur serta usaha-usaha perekonomian perlu untuk melihat terlebih dahulu ketersediaan lahan, jumlah warga yang bergantung atas lahan tersebut dan juga keseimbangan ekologi sebelum memikirkan jumlah keuntungan yang akan didapat.


Sehingga dalam proses pembangunan tidak ada kerugian sosial, kerugian ekonomi maupun kerugian (kerusakan) ekologi.