Seminar Nasional “Metode Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia” yang diselenggarakan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional Indonesia (IAAI) bertempat di Aula Masjid Agung Jawa Tengah dihadiri Quraish Shihab, Noor Ahmad, Mukhlis M Hanafi, dan Abdul Ghofur Maemoen dipandu Habiburrahman El-Shirazy sebagai Master of Ceremony Sabtu (24/12/16).

Habiburrahman El-Shirazy sebagai pemandu menjelaskan al-Qur’an  bisa merubah segalanya yang ada didunia. “Jelas berbeda dengan Alexander Gritz yang mampu menguasai setengah dunia namun tidak bisa merubah tatanan hidup didunia,” ujar penulis novel Ayat-Ayat Cinta.

Abdul Ghofur Maemoen menuturkan metode dalam penafsiran al-Qur’an harus dilandasi dengan cinta Indonesia.

“Ketika menafsirkan khususnya di Indonesia memberikan satu nota (tafsir) dengan melihat penafsiran lain. Untuk menjadikan tidak kaget. Dalam menyampaikan pendapat kita, belum tenth benar menurut orang lain,” ujar  juga anggota MUI Jawa Tengah.

Mukhlis M Hanafi menjelaskan tema  diskusi ini tidak lepas dengan efek Surat al-Maidah : 51 yang sempat viral.  Memiliki efek terhadap Negara Kesatuan Repulik Indonesia.

“Perlu diingat, terjemahan al-Qur’an bukan al-Qur’an. Kebanyakan orang awam menganggap terjemahan al-Qur’an dianggap al-Qur’an. Bahasa manapun di dunia ini tidak bisa menafsirkan Al-Qur’an karena miskin kosa kata, “ ungkap  anggota Kementrian Agama.

Noor Ahmad menekankan perbedaan penerapan tafsir di setiap wilayah.

“Tafsir Mesir dan Tafsir Saudi berbeda dengan Tafsir Indonesia, maka tidak tepat diterapkan di Indonesia. Tafsir Mesir lebih menggunakan ro’yu dan Tafsir Saudi Arabia menggunakan pendekatan salafi. Penafsir Indonesia harus bisa mengkaji Tafsir Kitab Mesir dan Tafsir Kitab Arab, agar bisa membuat Tafsir Kitab Indonesia sendiri”, kata Takmir MAJT dan Sekertaris MUI.

Quraish Shihab menjelaskan perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an tidak akan menjadi penghambat asal masih menggunakan metode yang sama dan masih berorientasikan dengan perdamaian dan tidak melanggar nilai-nilai Indonesia.

“Imam Asy-Syatibi pernab berujar tidak ada yang pasti di al-Qur’an kecuali ada yang menginginka  makna lain. Disini harus didukung argumentasi untuk menekankan makna yang bersifat wajib”, ucap Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah. (sr)